Selasa, 08 Maret 2011

WIHDATUL WUJUD IBNU ARABI


A.   Biografi Ibnu Arabi
Ibnu ‘Arabi dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali.
Ibn ‘Arabi lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Julai 1165 M, di Kota Murcia, ibu kota Andalusia Timur (kini Sepanyol), Ibnu ‘Arabi bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu ‘Arabi Muhyiddin, dan al-Hatami. Ia juga mendapat gelaran sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.
Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu ‘Arabi. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia.
Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme ‘Arabi kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan keperibadian Ibnu ‘Arabi. Keperibadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sasetra. Kerana itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.
Meski Ibnu ‘Arabi belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira’ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun’im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis mazhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiri, Ibnu ‘Arabi sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.
Ibnu ‘Arabi membangun kaedah asli dalam menafsirkan Alquran dan Sunnah yang berbeda dengan kaedah yang ditempuh para pendahulunya. Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang. “Kami menempuh kaedah memahami kalimat-kalimat yang ada itu dengan hati kosong dari pelengkapan pemikiran.
B. Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi
Pada perjalanan intelektualismenya, Ibnu ‘Arabi akhirnya menempuh jalan halaqah sufi (tarekat) dari beberapa syeikhnya. Setidaknya, ini terlihat dari apa yang ia tulis dalam salah satu karya monumentalnya Al-Futuhatul Makkiyah, yang sarat dengan permasalahan sufisme dari beberapa syeikh yang memiliki displin spiritual beragam. Pilihan ini juga yang membuat ia tak menyukai kehidupan duniawi, sebaliknya lebih memusatkan pada perhatian ukhrawi.
Untuk kepentingan ini, ia tak jarang berkelana demi menuntut ilmu. Ia menemui para tokoh arif dan jujur untuk bertukar dan menimba ilmu dari ulama tersebut. Tidak menghairankan bila dalam usia yang sangat muda, 20 tahun, Ibnu ‘Arabi telah menjadi sufi terkenal.
Menurutnya, tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yakni: Bawa’its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa’i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq, dan Hakikat. Sementara komponen pendorongnya ada tiga hak. Pertama, hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Kedua, hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Ketiga, hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (tarekat) yang di dalamnya kebahagiaan dan keselamatannya.
Pada hak Allah (hak pertama), dapat ditekuni secara sempurna pada seluruh karya Ibnu ‘Arabi. Di sini, tauhid dijadikan sebagai kemuncak, iman sebagai cahaya hati, dan Alquran sebagai akhlaknya. Lalu naik ke tahap yang tak ada lagi selain al-Haq, yakni Allah SWT. Karakter Ibnu ‘Arabi senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur. Kuncinya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi al-Haq.
Sementara rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya, tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya. Ibnu ‘Arabi menggunakan kendaraan mahabbah (kecintaan), bermadzhab ma’rifah, dan ber-wushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya dalam pandangan ‘Arabi hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Mahakuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan.
Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah ketika kosong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haq. Seluruh semesta bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya. Hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haq, dan usaha penyucian dalam taman Zat-Nya.
Meski demikian, tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu ‘Arabi, terutama kaum fuqaha’ dan ahli hadis, sebagai sangat kontroversial. Sebut saja, misalnya, teorinya tentang Wahdatul Wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karyanya itu Ibnu ‘Arabi banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam. Kerananya, tidak sedikit yang mengganggap ‘Arabi telah kufur, misalnya Ibnu Taymiyah, dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebaga ‘kafir’.
Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu ‘Arabi setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu ‘Arabi. “Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu ‘Arabi yang tidak memahami makna sebenarnya,” komentar Ibnu Taimiyah.
Menurut penyelidikan para ulama dan orientalis, Ibnu Arabi mempunyai 560 kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan dan umum. Malah ada yang mengatakan, termasuk risalah-risalah kecilnya, mencapai 2000 judul. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al-Kabir yang terdiri 90 jilid, dan ensiklopedi tentang penafsiran sufistik, yang paling masyhur, yakni Futuhatul Makkiyah (8 jilid), serta Futuhatul Madaniyah. Sementara karya yang tergolong paling sulit dan penuh metafora adalah Fushushul Hikam.
Kepercayaan Tuhan menjelma di mana-mana atau ‘manunggaling kawula lan gusti’ tak pernah surut. Nabi sendiri tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari ‘hamba Tuhan’.

C.  Ibnu Arabi dan Pantheisme
Pantheisme ialah kepercayaan bahwa Tuhan menjelma di mana-mana, bahwa segala yang wujud di alam ini adalah perwujudannya. Sedangkan ‘manunggaling kawula lan gusti’ secara literal berarti menyatu hamba dan Tuhan. Ajaran mistis ini pernah menggegerkan Kerajaan Islam Demak sehingga Syekh Siti Jenar (Lemah Abang) dieksekusi oleh para Wali Sanga. Sesudahnya pernah juga heboh kasus Haji Mutamakkin yang menganggap ibadah-ibadah zahir tidak perlu bagi orang yang sudah menyatu dengan Tuhan (Lihat: P.J. Zoetmulder, Pantheïsme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1991 dan Subardi, The Book of Cabolek, The Hague: Martinus Nijhoff, 1975).
Selain al-Hallaj, tokoh sufi favorit yang kerap dikaitkan dengan pantheisme ialah Ibnu Arabi (w. 638 H/ 1240 M). Kepada pemikir kontroversial asal Murcia, Andalusia ini telah disematkan label ‘sufi liberal’ dan ‘pluralis’. Kepadanya jua dinisbatkan doktrin wahdatu l-wujud yang telah menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ulama maupun ‘sufaha’ hingga hari ini. (Lihat: al-Biqa‘i, Masra‘ al-Tashawwuf, aw, Tanbih al-Ghabi ila Takfir Ibn ‘Arabi, ed. ‘Abd ar-Rahman al-Wakil (Bilbis: Dar al-Taqwa, 1989) dan al-Suyuthi, Tanbih al-Ghabi fi Takhti’ati Ibn ‘Arabi, ed. ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud (Kairo: Maktabat al-Adab, 1990). Peliknya, istilah ‘wahdatu l-wujud’ sendiri tidak ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Menurut William Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus anak tiri Ibnu Arabi, dan dipopulerkan oleh penulis-penulis sesudahnya semisal Ibn Sab‘in (w. 646 H/1248 M) dan Afifuddin at-Tilimsani (w. 690 H/1291).
Konotasi negatif yang melekat pada istilah wahdatul-wujud kian menguat sesudah dikritik habis oleh Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M). Bagi ulama yang wafat dalam penjara Damaskus ini, wahdatul wujud bukanlah tawhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya: “ma tsamma mawjud illa hadza l-‘alam al-masyhud”. Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada: “anna wujuda l-ka’inat huwa ‘aynu wujudillah” (Lihat: Dar’u t-Ta‘arudh al-‘Aql wa n-Naql, ed. M. Rasyad Salim, Dar al-Kunuz al-Adabiyyah, 3:163 dan Majmu‘at Rasa’il Ibn Taymiyyah, ed. S.M. Rasyid Ridha, Kairo 1349 H, 4:4 dan 1:71) Dikenal pemberani, jujur dan bernalar tajam, Ibnu Taimiyah tidak asal tuduh. Sebagai bukti ditunjuknya dua bait puisi Ibn Arabi dalam pembukaan kitab al-Futuhat al-Makkiyah (paragraf 6) yang berbunyi: “Tuhan adalah benar-nyata, tetapi hamba juga benar-nyata.
Ibnu arabi mengatakan Tuhan ada dimana-mana berdalih dengan dua ayat al-Qur’an. Pertama, dengan ayat 16 surah Qaf: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Banyak ulama tafsir memahami frasa “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” sebagai pernyataan figuratif metaforis. “Ini merupakan perumpamaan kedekatan (hadza matsal fi farth al-qurb),” tegas Imam al-Biqa‘i (w. 885 H/1480 M) dalam tafsirnya, Nazhmu d-Durar fi Tanasub al-Ayat wa s-Surar. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam al-Jami‘ li-Ahkami l-Qur’an.
Kedua, dengan ayat 4 surah al-Hadid: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui segala yang masuk ke dalam bumi dan segala yang keluar darinya, segala yang turun dari langit dan segala yang naik ke sana, dan Dia beserta kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Huwa al-ladzi khalaqa as-samawati wa al-ardha fi sittati ayyamin tsumma istawa ‘ala al-‘arsy, ya‘lamu ma yaliju fi al-ardhi wama yakhruju minha wama yanzilu min as-sama’i wama ya‘ruju fiha wa Huwa ma‘akum aynama kuntum wa Allahu bima ta‘maluna bashir). Tidak sedikit orang yang tergelincir ketika menafsirkan ayat ambigu ini.
Penafsiran Ibnu Arabi sendiri terhadap ungkapan yang digarisbawahi di atas dapat kita ikuti dalam kitab al-Futuhat Makkiyyah (bab 272) ketika ia menguraikan isi kandungan ayat 7 surat 58 (al-Mujadalah): “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada [pula pembicaraan antara jumlah] yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada beserta mereka di manapun mereka berada (ma yakunu min najwa tsalatsatin illa Huwa rabi‘uhum, wa la khamsatin illa Huwa sadisuhum, wa la adna min dzalika wa la aktsara illa Huwa ma‘ahum aynama kanu).”
Seorang pembaca yang cermat, kata Ibnu Arabi, dapat dengan mudah menangkap bahwa maksud ungkapan “wa la adna min dzalika ” adalah dua orang, sedangkan “wa la aktsara” berarti tujuh orang atau lebih. Ibnu Arabi kemudian mengajukan pertanyaan: Kenapa dalam ayat tersebut dikatakan “jika ada tiga individu maka Allah adalah yang keempatnya, dan jika ada lima maka Allah yang keenam”? Kenapa bukan “jika ada empat maka Dia kelimanya, ataupun jika ada enam maka Dia ketujuhnya”?
Jawabannya, imbuh Ibnu Arabi, adalah karena Allah hendak menegaskan keesaan-Nya (annahu yuridu al-ifrad), bahwa hanya Dialah yang berdiri sendiri, yang wujudNya diperlukan namun tidak memerlukan yang lain. Dalam setiap jumlah tersebut, Allah menjadi penggenap akan tetapi tidak termasuk di dalamnya (yasyfa‘uha [ya‘ni an-najwa] bima laysa minha). Dengan begitu, tambahnya, Allah juga menunjukkan status keberbedaanNya. Artinya, tak seorangpun dapat independen sendiri melainkan wujudnya digenapkan oleh al-Haqq, karena ketunggalan dan keesaan hanya milikNya semata (hatta la takuna al-ahadiyyatu illa lahu). Oleh karena makhluk mustahil dapat menggenapkanNya, tetapi sebaliknya Dia yang menggenapkan makhluk, maka berfirmanlah Dia: wa Huwa ma‘akum aynama kuntum.
Menarik untuk dipertanyakan, lanjut Ibnu Arabi, mengapa bukan sebaliknya. Mengapa Allah tidak mengatakan: wa antum ma‘aHu aynama kana? Jawabannya, karena mustahil bagi makhluk dapat beserta denganNya, walaupun tidak mustahil bagiNya untuk beserta kita (fa-ya‘lamu subhanahu kayfa yash-habuna wa la na‘rifu kayfa nash-habuHu).
Singkatnya, tafsir dari surat al-Hadid ayat 4 tersebut di atas menurut Ibnu Arabi ialah: Kebesertaan hanya mungkin bagiNya, tetapi mustahil bagi kita (fa al-ma‘iyyah lahu tsabitah fina, manfiyyah ‘anna fihi). Terlepas dari benar-tidaknya, uraian Ibnu Arabi ini setidaknya menjelaskan pada kita posisinya yang tidak sehaluan dengan ajaran manunggaling kawula lan gusti.
Namun di sinilah tampak jelas ambivalensi Ibnu Arabi. Di satu sisi terkesan menganut pantheisme dan di sisi lain terkesan menolaknya. Sikap mendua ini juga ditangkap oleh Ibnu Taimiyah: “Ibnu Arabi lebih dekat ke Islam dan paling indah kata-katanya … sehingga banyak dikutip orang.”

PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL

 
A.    Profil Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot Punjab pada 22 februari 1873. ia mendapatkan pendidikan pertama kali dari ulama besar bernama Mir Hassan. Kemudian Iqbal belajar kepada Sir Thomas Arnold yang memperkenalkan khazanah pemikiran barat. Berkat dorongannya pula Iqbal berangkat ke inggris untuk mempelajari filsafat barat dengan lebih di universitas cambridge di bawah bimbingan filosof neo-Hegelian Dr. Mc Taggart. Dari inggris Iqbal menuju jerman dan mengambil doktor filsafat di universitas munich dengan disertasi berjudul: The Development of Metaphysics in Persia. Iqbal pun muncul sebagai sosok filosof yang disegani baik dikalangan barat maupun Islam sendiri.[1]
Pada tahun 1908 ia berada kembali di lahore dan di samping pekerjaannya sebagai pengacara ia menjadi dosen filsafat. Buku-bukunya The Reconstruction of religiuous thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa uneversitas di india. Kemudian ia memasuki bidang politik dan di tahun 1930 dipilih menjadi presiden liga muslimin. Di dalam perundingan meja bundar di london ia turut dua kali mengambil bagian. Ia juga menghadiri konferensi Islam yang diadakan di yarussalem. Di tahun 1933 ia diundang ke afghanistan untuk membicarakan pembentukan universitas kabul. Dalam usia enam puluh dua ia meninggal di tahun 1938.
Iqbal adalah sosok inklusif yang menanggapi pemikiran barat secara argumentatif dan selain itu ia juga melakukan apropriasi terhadap teks-teks pemikiran barat yang kemudian menghasilkan pergeseran keyakinan dari panteisme yang menolak ego ke eksistensialisme yang menekankan kehendak kreatif. Pertemuan Iqbal dengan pemikir barat tidak lantas melepaskannya dari Islam, bahkan motivasi awal Iqbal mempelajari pemikiran barat tidak lain untuk merekonstruksi pemikiran Islam yang semakin terpuruk oleh mistisme dan konservatisme. Iqbal pun berbeda dengan kalangan cendekiawan Islam yang terlalu mengagung-agungkan rasionalisme barat. Iqbak menanggapi dengan kritis rasionalisme barat dengan argumentasi-argumentasi tajam dan bukan sekadar label kafir.

B. Filosof-filosof yang mempengaruhi Iqbal
            Untuk lebih memahami sisi pemikiran liberalismenya Iqbal, perlu kita memaparkan diantara beberapa tokoh filosof barat yang mempengaruhi pola pemikiran Iqbal. Disini ada beberapa filosof barat yang mempengaruhi pemikiran Iqbal. Sebut saja Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel, Whitehead, Berkeley. Diantara sekian banyak filosof , menurut hemat saya, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling mempengaruhi Iqbal. Nietzsche dan Bergsonlah sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi.
            Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat religius Iqbal menyelamatkannya dari sikap ateisme yang dianut oleh nietzche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
            Walaupun awalnya Iqbal terpengaruh oleh pemikiran nietzche, namun Iqbal juga menolak konsep Nietzche maupun bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum alam evolusionistik.

C. Pemikiran-pemikiran Iqbal; Studi pendekatan paham Liberalisasi
1.   Islam Bukan Agama Statis
Iqbal mempunyai kesamaan persepsi dengan pembaharu-pembaharu lain, ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Hukum Islam telah sampai kepada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa rasionalisme yang ditimbulkan golongan Mu’tazilah aka membawa kepada disintegrasi dan dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam sebagai kesatuan politik. Untuk memelihara  kesatuan itu kaum konservatif tersebut lari ke syariat sebagai alat yang ampuh untuk membuat ummat tunduk dan diam.
Akibat dari itu, lahirlah pemikiran yang menutup pintu ijtihad. Para ulama yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan dibidang agama, menganggap kalau dibiarkan ummat Islam dengan bebas berfikir apalagi yang berkenaan dengan syariat, akan membuat mereka makin terpecah belah. Akhirnya ijtihad diberhentikan dari konsep hukum Islam. Hukum Islam pun menjadi mandeg dan statis.
Iqbal mengkritik pemikiran sufis yang ekstrem, yaitu dalam konsep zuhud. Menurutnya, zuhud yang dikumandangkan itu ternyata telah menarik perhatian ummat Islam hanya terfokus kepada akhirat. Sehingga mengabaikan kepentingan duniawi. Keadaan demikian telah mengubah masyarakat yang aktif-dinamis menjadi pasif-statis.[2]
Menurut Iqbal Hukum dalam Islam sebenarnya tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Pertama berontak terhadap pendapat bahwa keempat madzhab telah membahas segala persoalan secara final dan dengan demikian ijtihad tidak perlu lagi, yaitu ibnu taimiyah yang lahir pada tahun 1263, yaitu lima tahun sesudah jatuhnya baghdad. Pendapat bahwa pintu ijtihad tidak tertutup dianut kemudian oleh Muhammad Abdul Wahhab. Pada zaman modern, ijtihad telah lama di jalankan di turki. Diantara semua negara Islam, barulah ummat Islam turki yang melepaskan diri dari belenggu dogmatisme. Baru bangsa turkilah yang mempergunakan hak kebebasan berfikir yang terdapat dalam Islam.
Islam pada hakekatnya mengajarkan dinamisme, demikian pendapat Iqbal. Al Quran senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Orang yang tidak perduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Kemajuan serta kemunduran dibuat tuhan silih berganti di antara bangsa-bangsa yang mendiami alam ini. Ini mengandung arti dinamisme.[3]
Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Dan prinsip yang dipakai dala soal gerak dan perubahan itu ialah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan dalam Islam. Faham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di india. Dalam syair-syairnya ia mendorong ummat Islam agar supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada ummat Islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru.[4]

2.   Konsepsi Ego
Sesuai dengan tema tulisan ini, pertama kali kita harus mencari konsepsi ego yang merupakan konsep yang mendasari filsafat Iqbal serta dasar penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Konsepsi ego ini dituangkan dalam bentuk puisi-puisi artistik yang terkumpul dalam Asrar-i Khudi (Rahasaia Diri) dan dikembangkan dalam ceramah-ceramah yang terkumpul dalam buku monumentalnya The Reconstruction of Religious Though in Islam.
Ada pendapat dari barat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi Tuhan. Ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia menjadi lemah, tidak berkuasa. Iqbal menolak keras pandangan ini, baginya manusia memiliki kehendak bebas (will to power) untuk melakukan sesuatu. Hal inilah yang membuat manusia memiliki dirinya, manusia memiliki ego. Ego yang bersifat bebas unifed dan immoratal dan dapat diketahui secara pasti, tidak sekedar pengandaian logis. Karena itulah, kemudian dikenal bahwa Filsafat Iqbal terpusat pada ego atau “self hood”. Dan demi memperkuat pengetahuan tersebut, ia tidak segan-segannya menimba ilmu pengetahuan Timur maupun Barat.
Sebetulnya, pendapat Iqbal tersebut persisnya membantah tesis Imannuel Kant yang mengatakan bahwa diri yang bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkrit. Dan Iqbal memaparkan pemikiran ego-nya terbagi menjadi tiga macam antara lain: pantheisme, empirisme dan rasionalisme.
Dalam pandangan Iqbal, pantheisme terlalu memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi riil adalah ego absolut. Hal ini bertentangan dengan keyakinannya bahwa ego manusia adalah nyata.  Terbukti bahwa manusia mampu berfikir dan bertindak, yang sekaligus membuktikan bahwa aku ada.[5]
Sementara empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman, sementara yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan panggung teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme karena tidak dapat menyangkal bahwa ternyata adanya kesatuan dalam pengalaman. Iqbal pun menolak rasionalisme ego yang diperoleh melalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Baginya, ego yang bebas dan terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi.[6]
Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya berupa aktivitas kehendak. Hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan dan bergerak menuju satu arah (Ego absolut). Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia berkehendak bebas dan berkreatif.
Menurut CA. Qodir, Iqbal mengambil pandangan tentang “ego” ini terutama dari kaum idealis seperti Hegel dan Fichte, tetapi menggabungkannya dengan paham perubahan. Ia berpendapat bahwa ada semacam tangga nada (hierarkhi) ke-aku-an yang muncul secara perlahan-lahan di alam semesta ini hingga mencapai tingkat manusia, di mana ke-ego-an berada pada titik titik tertingginya. Allah SWT dipandang sebagai ego, tetapi Ia adalah Ego absolut. Sementara alam semesta adalah lembah ego-ego yang lebih rendah yang biasanya dipandang sebagai materi.[7] Iqbal sangat menekankan dan mengukuhkan perkembangan ego dan menjelaskan dengan rinci faktor-faktor pembangun ego dan juga faktor-faktor yang bisa menghancurkannya. Seperti halnya Rumi, Iqbal pun percaya bahwa ego membutuhkan lingkungan sosial untuk berkembang karena dalam kesendirian ia akan melemah dan kering.
Dalam karyanya Romaz-i Bekhudi (Rahasia non-Diri), Iqbal menunjukan adanya saling ketergantungan antara individu dan masyarakat. Dan menyatakan dengan tegas bahwa keanggotaan yang aktif dalam suatu masyarakat yang riil inilah yang memberi tujuan dan makna dalam kehidupan seseorang. Ego sebagai diri adalah keseluruhan kepribadian yang menerima dan mengintegrasikan rangsangan lalu menjawabnya secara kreatif dan inovatif. Ego pada dasarnya bebas dan kebebasan ini dipandang oleh Iqbal sebagai “rahmat”.
Sementara Tuhan harus diperoleh lewat perjuangan yang berkesinambungan dan bertahan. Iqbal sendiri mendefinisikan ego (khudi) sebagai berikut: “Secara metafisik kata “khudi” (keakuan) digunakan dalam arti adanya perasaan yang tak terperikan tentang “Aku” yang membentuk dasar bagi setiap keunikan “individu”. Secara etik kata khudi berarti kemandirian (self reliance), penghargaan diri, kepercayaan diri atau pemeliharaan diri untuk berpegang teguh pada cita-cita kebenaran.[8]
Dengan ego (individualisasi), Iqbal telah melakukan perintisan dalam menafsirkan kembali seluruh khazanah warisan peradaban Islam yang diintegrasikan dalam bangunan ilmu dan filsafat kontemporer. Pembebasan, emansipasi kemanusiaan, identitas dan kemandirian yang pada saat ini menjadi tema sentral bagi pembangunan kemanusiaan telah lama dikumandangkan Iqbal melalui puisi-puisinya secara filosofis dan sufistis. Kehidupan yang penuh keintiman tetapi juga sekaligus ketegangan, merupakan idealisme ego Iqbal. Suatu ketegangan berupa penyerbuan lingkungan ke dalam ego sekaligus penyerbuan ego ke luar lingkungnanya. Suatu ketegangan yang berupa living intimacy of relationship, keakraban yang hidup dari hubungan antara individualitas dan lingkungannya. Ketegangan yang penuh keintiman inilah yang akan memperkuat arus stimulus kehidupan sosial dan sekaligus mendorong ego (individualisasi) ke arah konstruktif dan kreatif. Ketegangan ini merupakan bentuk rekonstruksi sosial budaya atas dasar nilai-nilai moral yang kokoh yang bersumber pada tauhid sebagai working idea dari Kalam Illahi: al-Quran dan al-Hadits.
Ego manusia mempunyai tingkat realitas tertinggi di antara makhluk Tuhan yang lain. Diri (self) dan ego tidak bisa dipisahkan. Ego selalu berusaha sebanyak mungkin menjadi sama dan satu (identifikasi) dengan diri. Tanpa perkembangan dari ego tidak terjadi perkembangan untuk diri.. Karena ego ialah satu-satunya sumber kreativitas dan pembaharuan, perkembangan selalu mulai dengan perkembangan ego. Karena kreativitas manusia mampu mengembangkan egonya pada derajat yang lebih tinggi. Tujuan perkembangan ini ialah mendekatkan diri pada Ego Terakhir, yaitu Tuhan. [9]
Ego manusia bersifat teleologis. Hal ini berarti bahwa selama proses hidup itu tumbuh dan meluas, selalu terjadi pembentukan progresif dari tujuan-tujuan, nilai-nilai ideal yang baru. Ego manusia bertujuan mendapat individualitas yang makin lapang dan unik untuk menggunakan seluruh lingkungannya yang beraneka ragam itu sebagai lingkungan tempat ia beramal dan berbuat sepanjang arus kehidupan yang tidak pernah berakhir. Dan ini hanya mungkin kalau manusia menumbuhkan sifat-sifat keTuhanan dalam dirinya untuk hidup bermasyarakat.[10]

2.  Kehendak Kreatif
            Dalam pandangan Iqbal hidup adalah kehendak kreatif yang ia sebut sebagai Soz. Meskipun demikian, konsep kehendak kreatif sangat berbeda dengan konsep kehendak kreatif Bergson dan Nietzsche. Bergson dan Nietzsche mengartikan kehendak kreatif sebagai khaotis, buta dan tanpa tujuan. Iqbal menolak pandangan tersebut dengan mengatakan kehendak kreatif adalah sesuatu yang bertujuan, yaitu diri selalu bergerak ke satu arah.
            Secara intuitif manusia menyadari bahwa kehendaknya memiliki tujuan karena bila tanpa tujuan maka kehendak menjadi sirna. Meskipun demikian Iqbal mengemukakan bahwa tujuan tersebut bukan ditetapkan oleh hukum sejarah maupun takdir sebagai pre-conceived plan dari Tuhan. Berdasarkan asumsi manusia sebagai kehendak kreatif, Iqbal menolak bentuk determenisme dan kepasifan.
            Iqbal menolak panteisme yang menekankan kepasifan, penolakan ego sebagai keutamaan dan sebagai gantinya ia menekankan bahwa diri otentik adalah diri yang kuat, bersemangat, otonom, dimana hal-hal yang menguatkan kekuatan, semangat, dan otonomi itulah yang mempertinggi kualitas diri.[11] Manusia berbeda dengan binatang yang motivasi perilakunya semata-mata ditentuan oleh pemenuhan kebutuhan material, namun berbeda dengan manusia yang memiliki kehendak bebas yang menolak ditundukkan dalam suatu pola kausalitas. Dengan demikian Iqbal menolak bahwa perilaku manusia ditentukan oleh suatu tujuan yang bukan ditentukannya dirinya sendiri seperti takdir.
Ego bagi Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas. Ia mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan ego mutlak. Sementara itu aliran kausalitas dari alam mengalir ke dalam ego dan dari ego ke alam. Karena itu, ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Dalam keadaan inilah ego mutlak membiarkan munculnya ego relatif yang sanggup berprakarsa sendiri dan membatasi kebebasan ini atas kemauan bebasnya sendiri.[12]

PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran Muhammad Iqbal dalam makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Dalam pemahaman Iqbal, Hukum dalam Islam sebenarnya tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Islam pada hakekatnya mengajarkan dinamisme, demikian pendapat Iqbal. Al Quran senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Orang yang tidak perduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Kemajuan serta kemunduran dibuat tuhan silih berganti di antara bangsa-bangsa yang mendiami alam ini. Ini mengandung arti dinamisme. Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Dan prinsip yang dipakai dala soal gerak dan perubahan itu ialah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan dalam Islam. Faham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di india.
2.      Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya berupa aktivitas kehendak. Hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan dan bergerak menuju satu arah (Ego absolut). Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia berkehendak bebas dan berkreatif. Secara intuitif manusia menyadari bahwa kehendaknya memiliki tujuan karena bila tanpa tujuan maka kehendak menjadi sirna. Meskipun demikian Iqbal mengemukakan bahwa tujuan tersebut bukan ditetapkan oleh hukum sejarah maupun takdir sebagai pre-conceived plan dari Tuhan. Berdasarkan asumsi manusia sebagai kehendak kreatif, Iqbal menolak bentuk determenisme dan kepasifan.


DAFTAR PUSTAKA

Ø   Ali Mukti, Alam Pemikiran Islam Modern, (Bandung: Mizan 1993)
Ø   Gahral Adian Donny, Muhammad Iqbal (Jakarta: Penerbit Teraju 2003)
Ø   Hartawa Rumaidi, Humanisme Religius: Pengantar pada Filsafat Iqbal, (Yogyakarta 1999)
Ø   Hartono Andi, Perkembangan Modern Dalam Islam Di Indo-Pakistan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya 1997)
Ø   Iqbal Muhammad, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam (New Delhi: Kitab Bhavan 1986)
Ø   Nasution Harun, Pembaharuan Dalam Islam (jakarta: bulan bintang 1992)
Ø   Takwin Bagus, Filsafat Timur: Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, (Yogyakarta, Jalasutra, 2003)


[1] Mukti Ali, Alam Pemikiran Islam Modern, (Bandung: Mizan 1993), hlm 174
[2] Andi Hartono, Perkembangan Modern Dalam Islam Di Indo-Pakistan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya 1997) hlm. 171
[3] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1992) hlm. 192
[4] Ibid
[5] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal (Jakarta: Penerbit Teraju 2003), hlm 80
[6] Ibid
[7] Rumaidi Hartawa, Humanisme Religius: Pengantar pada Filsafat Iqbal, (Yogyakarta 1999) hlm. 26
[8] Bagus Takwin, Filsafat Timur: Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, (Yogyakarta, Jalasutra, 2003), hal. 148
[9] Mohammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam (New Delhi: Kitab Bhavan 1986), hlm 145
[10] Ibid
[11] Ibid, Muhammad Iqbal, hlm 85
[12] Ibid, hlm 86

KRITISISME IMMANUEL KANT


A. Profil Immanuel Kant
Immanuel Kant dilahirkan pada tahun 1724 di Koningsbergen, jerman. Setelah belajar filsafat, fisika dan ilmu pasti, kemudian ia menjadi guru besar dalam logika dan metafisika, juga di Koningsbergen. Hidupnya dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pada tahap pra-kritis dan tahap kritis, dengan kira-kira tahun 1770 sebagai garis perbatasannya, yaitu ketika ia menerima jabatan guru besar. Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepastian, sedang sebelumnya masih terdapat perubahan-perubahan dalam tulisannya. Semula Kant dipengaruhi rasionalisme Leibniz dan Wolff, kemudian dipengaruhi empirisnya Hume, sedang Rousseau juga menampakkan pengaruhnya. Menurut Kant sendiri Hume-lah yang menjadikan dia bangun dari tidurnya dalam dogmatismenya. Setidaknya demikian yang ia katakana, namun kebangkitan itu hanya sementara, dia tidak lama kemudian menemukan obat tidur yang memnungkinkan untuk tertidur lelap.
Filsafatnya, seperti yang akan kita bahas memungkinkan untuk lebih tertarik pada hati nurani ketimbang nalar teoritik yang kaku, yang mungkin, dengan agak dilebih-lebihkan, dianggap sebagai fersi pedantic dari pendeta Savoyard. Prinsipnya bahwa setiap orang mesti menganggap sebagai tujuan dalam dirinya sendiri merupakan bentuk doktrin tentang hak asasi manusia; dan kecintaannya akan kebebasan ditunjukkan dalam ucapannya bahwa “tidak ada yang lebih mengerikan disbanding jika tindakan seseorang harus tunduk kepada kehendak orang lain”.
B. Pemikiran Immanuel Kant
Buku terpenting Kant ialah The Critique of Pure Reason (edisi pertama, 1781; edisi kedua 1787). Tujuan dari karya ini adalah untuk membuktikan bahwa, kendati pengetahuan kita tak satupun yang mampu melampaui pengalaman, ia sebagai a priori (atau teoritik) dan tidak disimpulkan secara induktif dari pengalaman. Menurutnya, bagian pengetahuan kita yang a priori tidak hanya diliputi logika saja, namun juga banyak hal yang tidak bias dimasukkan ke dalam logika atau disimpulkan darinya. Dia memisahkan dua pembedaan yang dalam karya Leibniz, bercampur-aduk. Di satu sisi ada pembedaan antara proposisi “a priori” dan “empirik”. Ada yang mesti dijelaskan tentang masing-masing pembedaan ini.[1]
Proposisi “analitik” adalah yang predikatnya merupakan bagian dari subyek; misalnya : “pria yang tinggi adalah seorang pria”, atau “segitiga sama sisi adalah segitiga”. Proposisi semacam itu mengikuti hukum kontradiksi; pendapat bahwa pria yang bukan seorang pria dengan sendirinya merupakan pendapat kontradiktif. Proposisi “sintetik” adalah yang tidak analitik. Semua proposisi yang hanya kita ketahui melalui dari pengalaman adalah sintetik. Dengan hanya menganalisa konsep kita tidak dapat menemukan kebenaran semisal “Hari selasa adalah hari yang basah” atau “Napoleon adalah panglima besar”. Namun Kant berbeda dengan Leibniz dan semua filsuf terdahulunya, tidak akan mengakui yang sebaliknya, bahwa semua proposisi sintetik hanya diketahui melalui pengalaman. Ini membawa kita kepada pembedaan yang kedua.[2]
Proposisi “empiric” adalah yang tidak dapat kita ketahui kecuali dengan bantuan indera-persepsi, baik milik kita sendiri maupun milik orang lain yang kesaksiannya dapat kita terima. Fakta-fakta sejarah dan geografi termasuk dalam jenis ini; demikian pula dengan hukum ilmu pengetahuan, bila pengetahuan kita tentang kebenarannya bergantung pada data observasi. Di sisi lain sebuah proposisi ”a priori” kendati dapat diperoleh dengan pengalaman_adalah yang dipandang nmanakala kita mengetahuinya, memiliki basis selain dari pengalaman.
1. Kritiknya Kant pada Rasionalis dan Empiris
Filsafat Kant disebut kritisisme. Itulah sebabnya tiga karyanya yang besar disebut “Kritik”, yaitu : Kritik Der Reinen Vernunft, atau “kritik atau rasio murni” (1781), kritik der praktischen Vernunft, atau “Kritik atau rasio murni” (17880 atau Kritik der Urteilskraft, atau “kritik atas daya pertimbangan”.  Secara harfiah kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud memisahkan dan membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastian. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya bermaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.[3]
Dalam filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat obyektifitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar supaya maksud itu terlaksana orang harus menghindari diri dari sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subyeknya, lepas dari segala pengalaman, sedang empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subyektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni.
Empirisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang sintetis, jadi tidak mungkin empirisme memberi pengetahuan yang bersifat umum dan perlu mutlak. Sebaliknya rasionalisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang analitis, jadi tidak mungkin memberikan pengetahuan yang baru. Demikianlah baik empirisme maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut ilmu pengetahuan.[4] Menurut Kant, perlu diselidiki bagaimana mungkin ada putusan-putusan yang “sintesis a priori”, yaitu putusan-putusan yang sekalipun sintesis, namun tidak tergantung dari pengalaman. Apakah yang menjadi rantai penghubungannya? Filsafat yang menangani persoalan ini oleh Kant disebut filsafat transcendental, yaitu filsafat yang meneliti cara orang mengenal segala sesuatu.
Segala pengalaman terjadi karena penggabungan antara dua factor, yaitu pengamatan inderawi dan pengamatan akali. Dalam kesadaran sehari-hari kedua factor ini tercampur, tidak dipisah-pisahkan. Akan tetapi dalam penyadaran secara teoritis keduanya harus dipisahkan, dengan maksud supaya masing-masing dapat diselidiki kemungkinan-kemungkinannya dan keadaannya yang secara logis transcendental, artinya; bukan hanya ditentukan bagaimana bentuk pengertian-pengertian dan putusan-putusan itu mungkin dan syarat-syarat (a priori) mana yang dipenuhi.
Menurut Kant, penginderaan kita bersifat reseptif atau menerima apa yang disajikan oleh sabjek yang tampak, dalam arti ini, bahwa segi konstruktif pengamatan itu dianggap sebagai berasal dari akal. Sebuah meja yang diamati menggerakkan indera kita. penglihatan kita menerima perangsang-perangsang dari bentuk dan warna meja itu, peraba kita menerima perangsang-perangsang dari kasar dan halusnya, pendengaran kita menerima perangsang-perangsang dari suara yang disebabkan oleh meja itu dan lain sebagainya. Dari kesan-kesan yang langsung itu kita mendapatkan pengenalan atau pengetahuan. Hubungan langsung antara pengenalan kita dengan sasaran yang diamati itu oleh Kant disebut pengamatan. Adapun yang amati bukan bendanya sendiri, bukan benda “dalam dirinya sendiri”, melainkan salinan dan pembentukan benda itu dalam daya-daya inderawi lahiriah dan batiniah, yang disebut penampakan atau gejala-gejala (fenomena). [5]
2. Teori Kant tentang ruang dan Waktu
Bagian yang terpenting dari The Critique of Pure Reason adalah doktrin tentang ruang dan waktu. Dibagian ini saya akan membuat kajian yang agak panjang lebar tentang doktrin ini. Menjelaskan teori Kant tentang ruang dan waktu tentu tidak sangat mudah, karena teori ini tidak terlalu jelas. Teori ini disajikan dalam The Critique of Pure Reason dan dalam Prolegomena; penjelasan dalam karya kedua lebih mudah dipahami, namun kurang menyeluruh disbanding dalam Critique. Saya akan lebih mencoba menguraikan teorinya dan menjadikannya semasuk akal mungkin.
Pengertian ruang atau keluasan ini berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Newton. Bagi Newton ruang ada diluar kita, tempat benda-benda ditempatkan. Bagi Kant ruang atau keluasan adalah sebuah “bentuk formal” penginderaan. Di dalam penangkapan inderawi kita mengatur kesan-kesan atau cerapan-cerapan pengamatan kita dalam dua dimensi atau tiga dimensi dalam ruang. Bentuk pengamatan di dalam yang disebut ruang atau keluasan itulah yang memungkinkan adanya penginderaan sesuatu.[6] Demikian juga dengan halnya waktu, yang adalah juga “bentuk formal” penginderaan. Bentuk ruang mengatur atau membentuk kesan-kesan atau cerapan-cerapan inderawi yang lahiriyah, sedangkan bentuk waktu mengatur atau membentuk kesan-kesan atau cerapan-cerapan inderawi yang batiniah. Kedua bentuk kesan ini pada akhirnya disintesakan oleh bentuk a priori waktu. Kedua pengertian ruang dan waktu ini mendahului penginderaan yang bersifat a posteriori, dan mewujudkan bentuk penginderaan a priori. Dilihat dari segi ini yang termasuk keadaan batiniah kita adalah segala sasaran pengamatan. Benda-bendanya sendiri tidak berada dalam ruang dan waktu, tetapi pengamatan kita menangkapnya seolah-olah berada dalam ruang dan waktu. Isi pengetahuan kita memang berasal dari benda-bendanya sendiri, akan tetapi bentuk pengetahuan itu sendiri diberikan oleh pengenalan kita. jadi yang kita kenal bukan bendanya sendiri melainkan penampakannya.
Kant berpendapat bahwa objek persepsi langsung sebagian disebabkan karena benda eksternal dan sebagian karena apparatus persepsi kita sendiri. Kant halnya seperti Berkeley dan Hume, meski tidak dengan cara yang serupa, melangkah lebih jauh dan membuat kualitas-kualitas primer juga menjadi subyektif. Kant acapkali tidak mempertanyakan bahwa sensasi kita memiliki sebab, yang dia sebut “suatu-dalam-dirinya-sendiri” atau “nomena”. Apa yang mengemuka dalam persepsi kita, yang disebut “fenomena”, terdiri dari dua bagian: yang diakibatkan oleh objeknya yang dia sebut “sensasi”, dan yang diakibatkan oleh apparatus subyektif kita, yang katanya menyebabkan beraneka macamh hal yang terjadi tertata dalam hubungan tertentu. Bagian yang kedua ini dia sebut dengan bentuk fenomena. Bagian ini dengan sendirinya bukanlah sensasi dank arena itu tidak bergantung pada kejadian sekitar; ia selalu sama, karena kita membawanya kemana-mana, dan ia bersifat a priori dalam arti tidak bergantung pada pengalaman. Bentuk murni dari sensabilitas disebut “intuisi murni”; ada sua bentuk, yakni ruang dan waktu, yang satu untuk indera luar dan yang satu lagi untuk dalam.[7]
Untuk membuktikan bahwa ruang dan waktu merupakan bentuk a priori, Kant memiliki dua kelompok argument; yang pertama metafisis dan yang kedua epistemologis, atau sebagaimana ia sebutkan transcendental. Kelompok yang pertama diambil langsung dari sifat ruang dan waktu, kellompok kedua diambil dari posibilitas matematika murni. Argument-argumen tentang ruang diberikan secara lebih penuh ketimbang tentang waktu, karena diyakini bahwa yang kedua pada dasarnya sama dengan yang pertama.
Ada empat argument metafisis mengenai ruang :
a)      Ruang bukanlah konsep empiric, yang diabstaraksikan dari pengalaman luar, karena ruang dimisalkan keberadaannya dengan merujuk pada sesuatu yang eksternal, dan pengalaman eksternal hanya dimungkinkan melalui kehadiran ruang.
b)      Ruang merupakan kehadiran a priori mutlak, yang mendasari semua persepsi eksternal; karena kita tidak dapat membayangkan tentang ketiadaan ruang, kendati kita dapat membayangkan bahwa dalam ruang itu tidak ada apapun.
c)      Ruang tidaklah diskursif dan bukan konsep umum mengenai hubungan benda secara umum, karena yang ada hanyalah satu ruang, sedangkan yang kita sebut “ruangan” hanyalah bagian-gagiannya, bukan keutuhannya.
d)     Ruang tersaji sebagai ukuran besar yang tak terhingga, yang melingkupi seluruh bagian ruang; hubungan ini berbeda dengan hubungan antara konsep dengan contohnya, dank arena itu ruang bukanlah konsep, melalui intuisi.[8]
3.  Ajaran Kant tentang etika
            Didalam kritik atas rasio praktis dibicarakan hal syarat-syarat umum dan yang perlu mutlak bagi perbuatan kesusilaan. Oleh karena itu yang diteliti disini ialah apa yang berlaku bagi manusia yang berbuat. Yang dijadikan pegangan ialah gagasan, bahwa ada suatu intuisi pada manusia yang mengatakan bahwa tiada sesuatu yang lebih tinggi daripada suatu perbuatan yang dilakukan karena “kehendak baik”, lepas dari buah-buahnya.[9] Dari manakah asal intuisi itu?
            Kelihatannya naluri manusialah yang lebih menentukan “kehendak baik” kita. akan tetapi sebenarnya naluri senantiasa memperhitungkan factor-faktor pengalaman. Oleh karena itu harus disimpulkan bahwa naluri tergantung kepada hal yang lain, terikat pada syarat-syarat material. Padahal yang kita perlukan ialah suatu factor yamg semata-mata baik dalam dirinya sendiri, yang tidak tergantung kepada buah-buahnya untuk disebut baik. Factor yang dapat memberi pimpinan, yang dapat menjadi patokan yang praktis demikian itu hanyalah rasio. Factor yang menentukan bagi kehendak baik ialah gagasan tentang adanya tertib dalam dirinya sendiri, seperti yang secara khusus terdapat pada rasio.[10]
              Kant membedakan antara legalitas dan moralitas. Yang dimaksud dengan legalitas ialah struktur perbuatan, dimana kehendak mengawasi hidup nafsu yang tak sadar, yang diawasi dari sudut tertentu, yaitu dari sudut suatu peraturan yang bersifat sementara (insidental), yang dipertimbangkan benar-benar, serta dipilih berdasarkan “kebebasan kehendak” disini pengetahuan atau pengertian memang memberi bimbingan kepada penentuan kehendak.[11] Secara mutlak kehendak itu hanya bebas dibidang moralitas mutlak, hal ini disebabkan karena di dalam moralitas pengertian yang menyebabkan orang bertindak bukan diarahkan kepada keadaan yang terbatas, melainkan kepada hal yang tidak terbatas, kepada hal yang tidak bersyarat. Demikianlah moralitas memiliki asas yang formal yang bersifat transcendental, yang pasti harus diandaikan sebagai syarat a priori yang memungkinkan moralitas, yang adalah bentuk yang perlu mutlak dari moralitas. Jadi di dalam moralitas bentuk dan isi adalah identik. Hanya saja, hal yang tidak bersyarat yang menjadi isi asas formal yang transcendental tadi setiap saat merealisasikan diri di dalam empiri atau pengalaman sehingga asas formal tadi dapat memiliki isi yang konkrit.
            Demikianlah moralitas adalah segala perbuatan yang sesuai dengan kewajiban ditambah dengan rasa hormat terhadap hukum kesusilaan, sedang legalitas adalah segala perbuatan yang sesuai dengan kewajiban tanpa rasa hormat terhadap hukum kesusilaan tadi. Pengertian “hormat” ini mewujudkan perpindahan dari etika yang formal kepada etika yang material. Selanjutnya Kant menunjukkan kepada pengandaian umum yang tersirat dalam kesadaran kesusilaan, yang disebut postulat, yaitu dalil teoritis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoritis yang oleh karenanya dapat disebut dalil kepercayaan. Kesadaran kesusilaan hanya dapat masuk akal, jikalau orang mau menerima adanya postulat-postulat itu. Menurut Kant ada 3 postulat yang tersirat di dalam kesadaran, yang oleh karenanya harus diterima sebagai kebenaran-kebenaran kesusilaan, yaitu : kebebasan kehendak, immoralitas jiwa dan Allah.[12]

PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat kant adalah jembatan antara zaman pencerahan, dengan keyakinannya terhadap ilmu sebagai sesuatu yang mengetahui segalanya dan menangani segalanya bagi semua kebingungan manusia. Filsafat Kant disebut kritisisme. Secara harfiah kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud memisahkan dan membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastian. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya bermaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan
Kant bermaksud memugar sifat obyektifitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar supaya maksud itu terlaksana orang harus menghindari diri dari sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subyeknya, lepas dari segala pengalaman, sedang empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subyektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni.



DAFTAR PUSTAKA

Ø  Russell Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, pent Sigit Jatmiko dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002)
Ø  T.Z. Lavine, Petualangan Filsafat; dari Socrates ke Sarte, pent Andi Iswanto (Yogyakarta: Jendela 2002)
Ø  Hadiwijoyo Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, cet ke 22 (Yogyakarta: Kanisius 2009 )
Ø  Aiken D. Henry, Abad Ideologi, Penj Sigit Djatmiko (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya 2002)


[1] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, pent Sigit Jatmiko dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002), hlm 922
[2] ibid
[3] Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, cet ke 22 (Yogyakarta: Kanisius 2009 ), hlm 64
[4] Ibid, hlm 66
[5] Ibid
[6] T.Z. Lavine, Dari Socrates Ke Sartre, Pent Andi Iswanto (Yogyakarta: Penerbit Jendela 2002) hlm 188
[7] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, pent, Sigit Djatmiko dkk (Yogyakarta: Pustaka pelajar 2002), hlm 930
[8] Ibid, hlm 931
[9] Henry D. Aiken, Abad Ideologi, pert Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 2002) hlm 35
[10] Ibid, hlm 36
[11] Ibid, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm 75
[12] Ibid, Sari Sejarah Filsafat Barat 2...