Selasa, 08 Maret 2011

Seni Musik Dalam Perspektif Hukum Islam


BAB I

PRAKTEK SENI SUARA DAN SENI MUSIK DALAM SEJARAH ISLAM

 

Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zamān jāhilliyah. Di Hijāz kita dapati orang menggunakan musik mensural yang mereka namakan dengan IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm). Mereka menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.
Setelah bangsa ‘Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasūlullāh, ketika Hijāz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.
Dalam buku-buku Hadīts terdapat nash-nash yang membolehkan seseorang menyanyi, menari, dan memainkan alat-alat musik. Tetapi kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu yang baru datang atau memuji-muji orang yang mati syahīd dalam peperangan, atau pula menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.
Dalam tulisan ini kami kutipkan beberapa riwāyat saja, antara lain riwāyat Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata (Lihat Shahīh Bukhārī, Hadīts No. 949, 925. Lihat juga Shahīh Muslim, Hadīts No. 829 dengan tambahan lafazh:((وَ لَيْسَتَا مُغَنِّيَتَيْنِ"Kedua-duanya (perempuan itu) bukanlah penyannyi"):
"Pada suatu hari Rasūlullāh masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari) Bu‘ats (Bu‘ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-AWS yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madīnah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah).(di dalam riwāyat Muslim ditambah dengan menggunakan rebana). (Kulihat) Rasūlullāh s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada sā‘at itulah Abū Bakar masuk dan ia marah kepada saya. Katanya: "Di tempat Nabi ada seruling setan?"  Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abū Bakar seraya bersabda: "Biarkanlah keduanya, hai Abū Bakar!". Tatkala Abū Bakar tidak memperhatikan lagi maka saya suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)....."
Dalam riwāyat lain Imām Bukhārī menambahkan lafazh (Lihat Shahīh Bukhārī, Hadīts No. 509, 511):
(يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَ هذَا عِيْدُنَا)
"Wahai Abū Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang ini adalah hari raya kita (umat Islam)."
Kaum lelaki masa Rasulullah dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak (jawārī) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya Amir bin Sa‘ad (seorang dari Tābi‘īn) pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat Sunan An-Nasā’i, Jilid VI, hlm. 135):
(دَخَلْتُ عَلى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ الأَنْصَارِيِّ فِيْ عُرْسٍ وَ إِذَا جَوَارِيْ يُغَنِّيْنَ فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ يُفْعَلُ هذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ: اِجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا وَ إِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ)
"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Abū Mas‘ūd Al-Anshārī. Ketika itu sedang berlangsung pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawārī) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya: :Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan pula? Quraizhah menjawāb: "Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silakan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan." (H.R. An-Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta Pernikahan).
Imām An-Nasā’i meriwayatkan dalam bāb Mengumumkan Pernikahan Dengan Suara (Nyanyian) dan Rebana yang diriwayatkannya dari M. bin Hathib bahwa Nabi s.a.w. bersabda (Lihat Sunan An-Nasā’i, Jilid VI, hlm. 127):
(فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَ الْحَرَامِ: الدُّفُّ وَ الصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ)
"Tanda pemisah (pembeda) antara yang halāl dengan yang harām (dalam suatu pernikahan) adalah (mengumumkanmua dengan) memainkan rebana dan menyanyi."

2.   PENGARANG TEORI MUSIK DARI KALANGAN KAUM  MUSLIMĪN.
Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah (wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimin banyak yang mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Hindia. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal ialah:
1.  Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini.
2.  Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku teori musik mengenai not dan irama.
3.  Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).


BĀB II

GOLONGAN YANG MENGHARAMKAN MENYANYI DAN MAIN MUSIK

 

Asy-Syaukani (Lihat Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 442) telah mencantumkan berbagai dalil tentang haramnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik, antara lain sebagai berikut:
1.  Firman Allah s.w.t.:
(وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَ يَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِيْنٌ) (لقمان:6)
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahw-ul-hadis) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (31:6).

Sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan tabi'in seperti Mujahid, Hasan Al-Basri, Ikrimah, Said bin Zubair, Qatadah dan Ibrahim An-Nakha'i menafsirkan lahw-al-hadis dengan arti nyanyian atau menjualbelikan (menyewakan) biduanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 442).
2.   Firman Allah s.w.t.:
(أَ فَمِنْ هذَا الْحَدِيْثِ تَعْجَبُوْنَ وَ تَضْحَكُوْنَ وَ لاَ تَبْكُوْنَ وَ أَنْتُمْ سَامِدُوْنَ) (النجم:59 - 61)
"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?" (53:59-61).

Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud SAAMIDUUN ialah AL-GHINA (nyanyian) ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm.261). Kata tersebut diambil dari bahasa Kabilah Himyar. Kabilah ini sering berkata: SAMADA LANAA GHANNA LANAA" (mereka bernyanyi untuk kita). Pendapat Ibnu Abbas ini didukung oleh pendapat yang sama dari Mujahid dan Ikrimah (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV, hlm.261).

3.   Firman Allah s.w.t.:
(وَ اسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ....) (الإسراء:64)
"Dan asunglah (kobarkanlah, bujuklah, incite, stir up) siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan suaramu (shautika)...." (17:64).
Perkataan Shautika (suaramu) yang ditujukan kepada Iblis serta digunakan untuk membujuk manusia. Maksudnya tidak lain adalah agar melakukan perbuatan maksiat, menurut Mujahid ia tidak lain adalah nyanyian dan hiburan. ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 50.
4.   Hadis Bukhari yang diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy'ari (Lihat Shahih Bukhari, Hadis No. 5590):
(لِيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيْرَ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ وَ لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيْهِمْ يَعْنِي الْفَقِيْرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُوْا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ الآخَرِيْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)
"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutra, arak dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok hari." Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat."
5.   Hadis riwayat Abu Dawud (Lihat Sunan Abu Dawud, Jilid IV, hlm. 282, Hadis No. 4927):
Hadis ini datang melalui Sallam bin Miskin yang didengarnya dari seorang tua yang  melihat Abi Wail hadir di suatu pesta pernikahan. Di pesta itu orang-orang asyik bermain, bersenang-senang dan bernyanyi bergembira. Waktu itu timbul hasrat Abu Wail untuk mencegahnya. Sambil melepaskan sorban Abu Wail berkata: "Kudengar dari Abdullah bin Mas'ud bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
(الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ)
"Lagu atau nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati."
7.   Hadis Imam Tirmidzi yang diriwayatkan dengan sanadnya dari Imran bin Husain bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda (Lihat Sunan Tirmidzi, Hadis No. 2309; Imam Asy-Syaukani, Nail-Ul-Authar, Jilid VIII, hlm.98):
(فِيْ هذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ مَتَى ذلِكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ الْخُمُوْرُ)
"Pada umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan." Bertanya salah seorang di antara kaum Muslimin: " Kapankah yang demikian itu akan terjadi, ya  Rasulullah?" Beliau menjawab: "Apabila telah muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum Muslimin."
8.   Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Jabir bin Addillah dengan sanad Hasan Shahih (Lihat Sunan Tirmidzi. Hadis No. 1011; dan Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis, hlm. 233).
Pada suatu ketika Rasulullah s.a.w. memegang tangan Abd-ur-Rahman bin Auf. Beliau mengajaknya bersama-sama untuk membesuk (pay visit to patient) Ibrahim (anak beliau) yang sedang sakit. Ketika itu beliau melihat anaknya dalam keadaan sakaratul maut. Lalu Rasulullah s.a.w. mengangkat anaknya dan memangkunya sambil menangis. Melihat hal ini Abd-ur-Rahman bin Auf berkata: Adakah engkau, ya Rasulullah menangis? Padahal engkau melarang kaum Muslimin melakukannya."
Mendengar perkataan tersebut Rasulullah s.a.w. bersabda:
(لاَ وَ لَكِنْ نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ خَمْشِ وُجُوْهٍ وَ شَقِّ جُيُوْبٍ وَ رَنَّةِ الشَّيْطَانِ) و في الحديث كَلام أكثر من هذا
"Tidak, aku tidak pernah melaramg orang menangis. Tetapi yang aku larang adalah mengenai dua macam suara dari orang tolol: suara ratapan orang yang ditimpa musibah yang disertai dengan mencakar muka dan merobek baju, dan teriakan Setan. (yakni suara suruhan dari setan yang mendorong orang untuk berteriak histeris)."

BĀB III

GOLONGAN YANG MEMBOLEHKAN NYANYIAN DAN MAIN MUSIK

 

Imam Malik, Imam Ja'far, Imam Al-Ghazali, dan Imam Abu Daud Azh-Zhahiri telah mencantumkan berbagai dalil tentang bolehnya nyanyian dan menggunakan alat-alat musik. Alasan-alasan mereka antara lain:
1.   Firman Allah Ta'ala:
(...وَ اغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتِ الْحَمِيْرِ) (لقمان:19).
"....dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi kelaedai." (31:19).
Imam Al-Ghazali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum mukhalafah. Allah s.w.t. memuji suara yang baik. Dengan demikian dibolehkan mendengarkan nyanyian yang baik. (Lihat Imam AL-Ghazali, Ihya Ulum-Id-Din, Juz VI, Jilid II, hlm. 141).
2.   Hadis Buhkari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Rubayyi' binti Mu'awwiz 'Afra.
Rubayyi' berkata bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke rumah pada pesta pernikahannya (Pesta yang dimaksud di sini adalah pesta pernikahan yang didalamnya ada lelaki dan perempuan, tetapi dipisahkan jaraknya. Di dalam Islam ada tiga pesta, yakni (1) pesta pertunangan, (2) pesta pernikahan, (3) pesta percampuran). Lalu Nabi s.a.w. duduk di atas.tikar. Tak lama kemudian beberapa orang dari jariah (wanita budak)nya segera memukul rebana sambil memuji-muji (dengan menyenandungkan) untuk orang tuanya yang syahid di medan perang Badar. Tiba-tiba salah seorang dari jariah itu berkata: "Di antara kita ini ada Nabi s.a.w. yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari." Tetapi Rasulullah s.a.w. segera bersabda (Lihat Sunan At-Tirmidzi, Jilid III, hlm. 398-399;:
(لاَ تَقُوْلِي هكَذَا وَ قُوْلِيْ كَمَا كُنْتِ تَقُوْلِيْنَ)
"Tinggalkanlah omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.
3.   Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya (Lihat Shahih Bukhari, Hadis No. 949, 952; lihat juga Shahih Muslim, Hadis No. 892 dengan lafazh lain):
"Pada suatu hari Rasulullah masuk ke tempatku. Ketika itu disampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari Bu'ats) (Bu'ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-Aws yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madinah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah.) Kulihat Rasulullah s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itulah Abu Bakar masuk dan ia marah kepadaku. Katanya: "Di tempat / rumah Nabi ada seruling setan?". Mendengar seruan itu Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar seraya berkata:
(دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ)
"Biarkanlah keduanya, hai Abu Bakar."
Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi maka aku suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)."
4.   Hadis riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya: "Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Maka Nabi s.a.w. bersabda:
(يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْو فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ)
"Hai 'Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan (nyanyian)."
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad terdapat lafaz (Lihat Imam Asy-Syaukani, Nail-Ul-Authar, Jilid VI, hlm. 187):
(لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّيْهِمْ وَ يَقُوْلُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ فَإِنَّ الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيْهِمْ غَزَلٌ)
"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshar senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."

5.   Hadis riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi dari Buraidah yang berkata:
"Suatu hari Rasulullah s.a.w. pergi untuk menghadapi suatu peperangan. Setelah beliau pulang dari medan perang, datanglah seorang jariah kulit hitam seraya berkata: "Ya Rasulallah, aku telah bernazar, yaitu kalau tuan dipulangkan Allah dengan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapan tuan." Mendengar hal itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
(إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِيْ وَ إِلاَّ فَلاَ)
"Jika demikian nazarmu, maka tabuhlah. Tetapi kalau tidak, maka jangan lakukan."
Maka jadilah ia menabuh rebana.Ketika tengah menabuh masklah Abu Bakar. Tapi jariah itu masih terus menabuh rebananya. Tak lama kemudian Utsman juga masuk, dan si penabuh masih asyik dengan rebana. Begitu pula halnya ketika Ali masuk. Namun tatkala Umar masuk, jariah itu cepat-cepat menyembunyikan rebananya di bawah pinggulnya setelah dilemparkan, lalu didudukinya rebana itu. Melihat peristiwa itu Rasulullah s.a.w. berkata:
(إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّيْ كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَ هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَ هِيَ تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ)
"Sesungguhnya syaitan pun takut kepadamu, hai Umar. Tadi ketika aku duduk di sini, jariah ini masih memukul rebananya. Begitu pula ketika Abu Bakar, Ali, Utsman masuk, dia masih memukulnya. Tetapi ketika engkau yang masuk hai Umar, dia buru-buru melemparkannya." (Tirmidzi menyebutkan bahwa Hadis ini SHAHIH tingkatannya. Lihat Imam Asy-Syaukani , Nail-Ul-Authar, Jilid VII, hlm. 119).
6.   Hadis riwayat An-Nasai dari Qurazhah bin Sa'ad (seorang tabi'i) yang pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat Sunan An-Nasai, Jilid VI, hlm. 135):
"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka'ab dan Mas'ud Al-Anshari. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawari) mulai bernyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya:
(أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُوْلَ اللهِ (ص) وَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ وَ يُفْعَلُ هذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ: اِجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا وَ إِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ)
"Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan?" Qurazhah menjawab: "Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silahkan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan." (Lihat Sunan An-Nasai, Jilid VI, hlm.127).
7.   Hadis Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini dari datuknya, Abu Hasan yang mengatakan bahwa hadis ini menceritakan kebencian Rasulullah s.a.w. terhadap pernikahan sirri (yang rahasia). Karena Itulah rebana ditabuh seraya didendangkan.(Lihat Imam Asy-Syaukani, Nail-Ul-Authar, Jilid VI, hlm. 187):
(كَانَ يَكْرَهُ نِكَاحَ السِّرِّ حَتّى يُضْرَبَ بِدُفٍّ وَ يُقَالُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ)
"Kami datang kepadamu, kami datang kapadamu, (karenanya) hormatilah kami. (Sebagai gantinya) kami akan menghormatimu."


BAB IV

HALAL ATAU HARAM NYANYIAN DAN MEMAINKAN ALAT MUSIK?

 

Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrumen musik) tidak diperselisihkan oleh para fuqaha. Mereka mengatakan bahwa nyanyian semacam ini halal atau dibolehkan, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Asy-Syaukani dari berbagai kalangan ulama (Lihat Asy-Syaukani , Nail-Ul-Authar, Jilid VIII,hlm. 114-115):
"Nyanyian tanpa instrumen musik, Al-Adhfawi dalam kitabnya AL-IMTA menyebutkan bahwa Imam Al-Ghazali dalam berbagai karangan fiqihnya menegaskan kesepakatan ulama tentang halalnya nyanyian jenis ini. Begitu juga Ibnu Thahir berpendapat ada ijma' sahabat dan tabi'in tentang halalnya nyanyian vokal ini. At-Taj-ul-Fazari dan Ibnu Qutaibah menyebutkan adanya ijma' penduduk Mekah dan Madinah. Ibnu Thahir dan Ibnu Qutaibah juga menyebutkan adanya ijma' penduduk Madinah dalam hal tersebut. Sedangkan Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa penduduk Hijaz sejak dulu sampai sekarang (abad 5 H) membolehkan nyanyian jenis ini pada hari-hari yang mulia dalam setahun yang (kaum Muslimin) diperintahkan untuk melakukan nazam-nazam zikir dan ibadah."
"Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan ada Hadits yang menunjukkan bolehnya nyanyian. Hadits shahih itu mengatakan bahwa Abu Bakar pernah masuk ke tempat Aisyah yang disampingnya ada dua jariyah penyanyi dari kalangan Anshar yang sedang menyanyikan tentang hari Bu'ats. Kemudian Abu Bakar berkata: "Di rumah Nabi s.a.w. ada seruling syaitan?" Mendengar perkataan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Biarkanlah keduanya, wahai Abu Bakar, sebab sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
Ibn-ul-'Arabi berkata: "Jika nyanyian itu haram, tentu di rumah Rasulullah s.a.w. tidak akan ada sama sekali hal tersebut. Tetapi alasan yang diberikan beliau (Nabi s.a.w.) untuk membolehkannya adalah karena nyanyian itu dilakukan pada hari raya, yang hal tersebut menunjukkan bahwa bila nyanyian itu dilakukan secara terus-menerus, maka hukumnya makruh. Sedangkan rukhshah (keringanan) untuk melakukannya terbatas pada saat-saat tertentu seperti hari raya, perkawinan, pulangnya seseorang kekampung halamannya, dan sebagainya. Berkumpulnya orang-orang (dalam acara tersebut) biasanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang sejak lama tidak bertemu atau berkumpul, baik berkumpulnya kalangan kaum wanita maupun pria. Jadi, setiap Hadits yang diriwayatkan maupun ayat dipergunakan untuk menunjukkan keharaman nyanyian merupakan pendapat yang bathil atau tidak benar dari segi sanad dan ijtihad, baik bertolak dari nash maupun suatu takwilan."
"Jika belum ada perincian dari Allah s.w.t. maupun RasulNya tentang haramnya sesuatu yang kita bincangkan di sini (dalam hal ini adalah nyanyian dan menggunakan alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa ia adalah halal atau boleh secara mutlak."
Adapun orang yang bertolak dari pendapat Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas tentang firman Allah s.w.t. surat Luqman, ayat 6 tentang arti Lahw-ul-hadits dalam ayat tersebut adalah 'nyanyian". Begitu juga pendapat Ibnu 'Abbas yang mengatakan bahwa memainkan alat musik rebana dan setiap alat musik termasuk seruling, tambur, adalah haram. Maka Ibnu Hazm membantah pendapat ini dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Jilid VI, hlm. 60). bahwa semua pendapat yang semacam ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau bukti dengan sebab-sebab sebagai berikut:
1.   Tidak ada hujjah dalam ucapan manusia manapun selain ucapan Rasulullah s.a.w.
2.   Pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, Ibrahim, Mujahid, dan Ikrimah tentang firman Allah s.w.t. dalam surat Luqman, ayat 6 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nyanyian, maka pendapat ini bertentangan senga pendapat yang lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.
3.   Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-orang yang bertindak demikian, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang bila mengajarkannya telah termasuk kafir tanpa ada selisih pendapat (khilaf). Mereka telah menjadikan Sabil (Agama Allah s.w.t.) sebagai senda gurau. Andaikan Al-Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari jalan Allah s.w.t. dan dijadikannya sebagai bahan ejekan maka tentu orang-orang yang melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang dicela oleh Allah s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukan ditujukan kepada orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan Allah s.w.t. Dengan demikian, hujjah mereka telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang yang sengaja menyibukkan diri dengan maksud tidak melakukan solat walaupun apa yang dilakukannya adalah dengan membaca Al-Quran, buku-buku Hadits, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang banyaknya uang, atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang serupa dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat maksiat. Adapun yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka orang tersebut adalah muhsin (orang yang tidak salah melangkah).
Kemudian beliau melanjutkan bantahannya terhadap pendapat dari pihak yang menanyakan, apakah nyanyian itu tergolong dalam Al-Haq (sesuatu yang dibenarkan oleh agama) atau tidak? Ini disebabkan karena Allah s.w.t. telah berfirman:
(فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلِ)
"...maka tidak ada  sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan." (10:32), dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Jilid VI, hlm. 60).
Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
(إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوى) (متفق عليه)
"Sesungguhnya amal perbuatan (manusia) itu tergantung niatnya. Bahwasanya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya...."
Oleh karena itu siapa saja yang niatnya mendengar nyanyian untuk melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka ia adalah seorang fasiq. Begitu pula halnya tiap sesuatu (hiburan) selain nyanyian. Sedangkan orang yang berekreasi di kebun atau duduk-duduk di depan pintu rumah sambil melihat orang-orang yang sedang berjalan, mencelup bajunya dengan warna biru atau hijau, dan warna lainnya, atau ingin meluruskan kaki atau menekuknya (fold s.t., bend s.t. over), begitu pula dengan seluruh perbuatan yang serupa dengannya.
Bertolak dari keterangan di atas maka terbukti dengan pasti bathilnya pendapat orang-orang yang meributkan masalah tersebut (yang mengharamkan nyanyian).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, ditambah dengan berbagai keterangan sebelumnya maka dapat kita simpulkan bahwa para ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah nyanyian. Sebagian dari mereka tidak menganggap Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian adalah shahih. Sedangkan yang lain telah menjadikan Hadits-Hadits tersebut sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan nyanyian. Masing-masing mengikuti apa yang mereka tentukan sebagai dasar pengambilan hukum sesuai dengan ijtihadnya. Karenanya, siapa saja yang ijtihadnya telah menghasilkan suatu dugaan yang kuat bahwa bernyanyi dan mendengarkannya adalah haram, maka itulah hukum Allah terhadapnya, juga terhadap setiap orang yang mengikutinya.
Sedangkan bagi orang-orang yang belum terbukti baginya keshahihan Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian yang disertai dengan dugaan kuat dan dengan ijtihad yang benar, maka itulah hukum Allah terhadapnya. Juga terhadap setiap orang yang mengikutinya sebab masalah ini adalah masalah khilafiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar