Selasa, 08 Maret 2011

PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL

 
A.    Profil Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot Punjab pada 22 februari 1873. ia mendapatkan pendidikan pertama kali dari ulama besar bernama Mir Hassan. Kemudian Iqbal belajar kepada Sir Thomas Arnold yang memperkenalkan khazanah pemikiran barat. Berkat dorongannya pula Iqbal berangkat ke inggris untuk mempelajari filsafat barat dengan lebih di universitas cambridge di bawah bimbingan filosof neo-Hegelian Dr. Mc Taggart. Dari inggris Iqbal menuju jerman dan mengambil doktor filsafat di universitas munich dengan disertasi berjudul: The Development of Metaphysics in Persia. Iqbal pun muncul sebagai sosok filosof yang disegani baik dikalangan barat maupun Islam sendiri.[1]
Pada tahun 1908 ia berada kembali di lahore dan di samping pekerjaannya sebagai pengacara ia menjadi dosen filsafat. Buku-bukunya The Reconstruction of religiuous thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa uneversitas di india. Kemudian ia memasuki bidang politik dan di tahun 1930 dipilih menjadi presiden liga muslimin. Di dalam perundingan meja bundar di london ia turut dua kali mengambil bagian. Ia juga menghadiri konferensi Islam yang diadakan di yarussalem. Di tahun 1933 ia diundang ke afghanistan untuk membicarakan pembentukan universitas kabul. Dalam usia enam puluh dua ia meninggal di tahun 1938.
Iqbal adalah sosok inklusif yang menanggapi pemikiran barat secara argumentatif dan selain itu ia juga melakukan apropriasi terhadap teks-teks pemikiran barat yang kemudian menghasilkan pergeseran keyakinan dari panteisme yang menolak ego ke eksistensialisme yang menekankan kehendak kreatif. Pertemuan Iqbal dengan pemikir barat tidak lantas melepaskannya dari Islam, bahkan motivasi awal Iqbal mempelajari pemikiran barat tidak lain untuk merekonstruksi pemikiran Islam yang semakin terpuruk oleh mistisme dan konservatisme. Iqbal pun berbeda dengan kalangan cendekiawan Islam yang terlalu mengagung-agungkan rasionalisme barat. Iqbak menanggapi dengan kritis rasionalisme barat dengan argumentasi-argumentasi tajam dan bukan sekadar label kafir.

B. Filosof-filosof yang mempengaruhi Iqbal
            Untuk lebih memahami sisi pemikiran liberalismenya Iqbal, perlu kita memaparkan diantara beberapa tokoh filosof barat yang mempengaruhi pola pemikiran Iqbal. Disini ada beberapa filosof barat yang mempengaruhi pemikiran Iqbal. Sebut saja Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel, Whitehead, Berkeley. Diantara sekian banyak filosof , menurut hemat saya, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling mempengaruhi Iqbal. Nietzsche dan Bergsonlah sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi.
            Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat religius Iqbal menyelamatkannya dari sikap ateisme yang dianut oleh nietzche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
            Walaupun awalnya Iqbal terpengaruh oleh pemikiran nietzche, namun Iqbal juga menolak konsep Nietzche maupun bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum alam evolusionistik.

C. Pemikiran-pemikiran Iqbal; Studi pendekatan paham Liberalisasi
1.   Islam Bukan Agama Statis
Iqbal mempunyai kesamaan persepsi dengan pembaharu-pembaharu lain, ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Hukum Islam telah sampai kepada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa rasionalisme yang ditimbulkan golongan Mu’tazilah aka membawa kepada disintegrasi dan dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam sebagai kesatuan politik. Untuk memelihara  kesatuan itu kaum konservatif tersebut lari ke syariat sebagai alat yang ampuh untuk membuat ummat tunduk dan diam.
Akibat dari itu, lahirlah pemikiran yang menutup pintu ijtihad. Para ulama yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan dibidang agama, menganggap kalau dibiarkan ummat Islam dengan bebas berfikir apalagi yang berkenaan dengan syariat, akan membuat mereka makin terpecah belah. Akhirnya ijtihad diberhentikan dari konsep hukum Islam. Hukum Islam pun menjadi mandeg dan statis.
Iqbal mengkritik pemikiran sufis yang ekstrem, yaitu dalam konsep zuhud. Menurutnya, zuhud yang dikumandangkan itu ternyata telah menarik perhatian ummat Islam hanya terfokus kepada akhirat. Sehingga mengabaikan kepentingan duniawi. Keadaan demikian telah mengubah masyarakat yang aktif-dinamis menjadi pasif-statis.[2]
Menurut Iqbal Hukum dalam Islam sebenarnya tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Pertama berontak terhadap pendapat bahwa keempat madzhab telah membahas segala persoalan secara final dan dengan demikian ijtihad tidak perlu lagi, yaitu ibnu taimiyah yang lahir pada tahun 1263, yaitu lima tahun sesudah jatuhnya baghdad. Pendapat bahwa pintu ijtihad tidak tertutup dianut kemudian oleh Muhammad Abdul Wahhab. Pada zaman modern, ijtihad telah lama di jalankan di turki. Diantara semua negara Islam, barulah ummat Islam turki yang melepaskan diri dari belenggu dogmatisme. Baru bangsa turkilah yang mempergunakan hak kebebasan berfikir yang terdapat dalam Islam.
Islam pada hakekatnya mengajarkan dinamisme, demikian pendapat Iqbal. Al Quran senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Orang yang tidak perduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Kemajuan serta kemunduran dibuat tuhan silih berganti di antara bangsa-bangsa yang mendiami alam ini. Ini mengandung arti dinamisme.[3]
Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Dan prinsip yang dipakai dala soal gerak dan perubahan itu ialah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan dalam Islam. Faham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di india. Dalam syair-syairnya ia mendorong ummat Islam agar supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada ummat Islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru.[4]

2.   Konsepsi Ego
Sesuai dengan tema tulisan ini, pertama kali kita harus mencari konsepsi ego yang merupakan konsep yang mendasari filsafat Iqbal serta dasar penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Konsepsi ego ini dituangkan dalam bentuk puisi-puisi artistik yang terkumpul dalam Asrar-i Khudi (Rahasaia Diri) dan dikembangkan dalam ceramah-ceramah yang terkumpul dalam buku monumentalnya The Reconstruction of Religious Though in Islam.
Ada pendapat dari barat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi Tuhan. Ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia menjadi lemah, tidak berkuasa. Iqbal menolak keras pandangan ini, baginya manusia memiliki kehendak bebas (will to power) untuk melakukan sesuatu. Hal inilah yang membuat manusia memiliki dirinya, manusia memiliki ego. Ego yang bersifat bebas unifed dan immoratal dan dapat diketahui secara pasti, tidak sekedar pengandaian logis. Karena itulah, kemudian dikenal bahwa Filsafat Iqbal terpusat pada ego atau “self hood”. Dan demi memperkuat pengetahuan tersebut, ia tidak segan-segannya menimba ilmu pengetahuan Timur maupun Barat.
Sebetulnya, pendapat Iqbal tersebut persisnya membantah tesis Imannuel Kant yang mengatakan bahwa diri yang bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkrit. Dan Iqbal memaparkan pemikiran ego-nya terbagi menjadi tiga macam antara lain: pantheisme, empirisme dan rasionalisme.
Dalam pandangan Iqbal, pantheisme terlalu memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi riil adalah ego absolut. Hal ini bertentangan dengan keyakinannya bahwa ego manusia adalah nyata.  Terbukti bahwa manusia mampu berfikir dan bertindak, yang sekaligus membuktikan bahwa aku ada.[5]
Sementara empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman, sementara yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan panggung teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme karena tidak dapat menyangkal bahwa ternyata adanya kesatuan dalam pengalaman. Iqbal pun menolak rasionalisme ego yang diperoleh melalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Baginya, ego yang bebas dan terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi.[6]
Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya berupa aktivitas kehendak. Hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan dan bergerak menuju satu arah (Ego absolut). Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia berkehendak bebas dan berkreatif.
Menurut CA. Qodir, Iqbal mengambil pandangan tentang “ego” ini terutama dari kaum idealis seperti Hegel dan Fichte, tetapi menggabungkannya dengan paham perubahan. Ia berpendapat bahwa ada semacam tangga nada (hierarkhi) ke-aku-an yang muncul secara perlahan-lahan di alam semesta ini hingga mencapai tingkat manusia, di mana ke-ego-an berada pada titik titik tertingginya. Allah SWT dipandang sebagai ego, tetapi Ia adalah Ego absolut. Sementara alam semesta adalah lembah ego-ego yang lebih rendah yang biasanya dipandang sebagai materi.[7] Iqbal sangat menekankan dan mengukuhkan perkembangan ego dan menjelaskan dengan rinci faktor-faktor pembangun ego dan juga faktor-faktor yang bisa menghancurkannya. Seperti halnya Rumi, Iqbal pun percaya bahwa ego membutuhkan lingkungan sosial untuk berkembang karena dalam kesendirian ia akan melemah dan kering.
Dalam karyanya Romaz-i Bekhudi (Rahasia non-Diri), Iqbal menunjukan adanya saling ketergantungan antara individu dan masyarakat. Dan menyatakan dengan tegas bahwa keanggotaan yang aktif dalam suatu masyarakat yang riil inilah yang memberi tujuan dan makna dalam kehidupan seseorang. Ego sebagai diri adalah keseluruhan kepribadian yang menerima dan mengintegrasikan rangsangan lalu menjawabnya secara kreatif dan inovatif. Ego pada dasarnya bebas dan kebebasan ini dipandang oleh Iqbal sebagai “rahmat”.
Sementara Tuhan harus diperoleh lewat perjuangan yang berkesinambungan dan bertahan. Iqbal sendiri mendefinisikan ego (khudi) sebagai berikut: “Secara metafisik kata “khudi” (keakuan) digunakan dalam arti adanya perasaan yang tak terperikan tentang “Aku” yang membentuk dasar bagi setiap keunikan “individu”. Secara etik kata khudi berarti kemandirian (self reliance), penghargaan diri, kepercayaan diri atau pemeliharaan diri untuk berpegang teguh pada cita-cita kebenaran.[8]
Dengan ego (individualisasi), Iqbal telah melakukan perintisan dalam menafsirkan kembali seluruh khazanah warisan peradaban Islam yang diintegrasikan dalam bangunan ilmu dan filsafat kontemporer. Pembebasan, emansipasi kemanusiaan, identitas dan kemandirian yang pada saat ini menjadi tema sentral bagi pembangunan kemanusiaan telah lama dikumandangkan Iqbal melalui puisi-puisinya secara filosofis dan sufistis. Kehidupan yang penuh keintiman tetapi juga sekaligus ketegangan, merupakan idealisme ego Iqbal. Suatu ketegangan berupa penyerbuan lingkungan ke dalam ego sekaligus penyerbuan ego ke luar lingkungnanya. Suatu ketegangan yang berupa living intimacy of relationship, keakraban yang hidup dari hubungan antara individualitas dan lingkungannya. Ketegangan yang penuh keintiman inilah yang akan memperkuat arus stimulus kehidupan sosial dan sekaligus mendorong ego (individualisasi) ke arah konstruktif dan kreatif. Ketegangan ini merupakan bentuk rekonstruksi sosial budaya atas dasar nilai-nilai moral yang kokoh yang bersumber pada tauhid sebagai working idea dari Kalam Illahi: al-Quran dan al-Hadits.
Ego manusia mempunyai tingkat realitas tertinggi di antara makhluk Tuhan yang lain. Diri (self) dan ego tidak bisa dipisahkan. Ego selalu berusaha sebanyak mungkin menjadi sama dan satu (identifikasi) dengan diri. Tanpa perkembangan dari ego tidak terjadi perkembangan untuk diri.. Karena ego ialah satu-satunya sumber kreativitas dan pembaharuan, perkembangan selalu mulai dengan perkembangan ego. Karena kreativitas manusia mampu mengembangkan egonya pada derajat yang lebih tinggi. Tujuan perkembangan ini ialah mendekatkan diri pada Ego Terakhir, yaitu Tuhan. [9]
Ego manusia bersifat teleologis. Hal ini berarti bahwa selama proses hidup itu tumbuh dan meluas, selalu terjadi pembentukan progresif dari tujuan-tujuan, nilai-nilai ideal yang baru. Ego manusia bertujuan mendapat individualitas yang makin lapang dan unik untuk menggunakan seluruh lingkungannya yang beraneka ragam itu sebagai lingkungan tempat ia beramal dan berbuat sepanjang arus kehidupan yang tidak pernah berakhir. Dan ini hanya mungkin kalau manusia menumbuhkan sifat-sifat keTuhanan dalam dirinya untuk hidup bermasyarakat.[10]

2.  Kehendak Kreatif
            Dalam pandangan Iqbal hidup adalah kehendak kreatif yang ia sebut sebagai Soz. Meskipun demikian, konsep kehendak kreatif sangat berbeda dengan konsep kehendak kreatif Bergson dan Nietzsche. Bergson dan Nietzsche mengartikan kehendak kreatif sebagai khaotis, buta dan tanpa tujuan. Iqbal menolak pandangan tersebut dengan mengatakan kehendak kreatif adalah sesuatu yang bertujuan, yaitu diri selalu bergerak ke satu arah.
            Secara intuitif manusia menyadari bahwa kehendaknya memiliki tujuan karena bila tanpa tujuan maka kehendak menjadi sirna. Meskipun demikian Iqbal mengemukakan bahwa tujuan tersebut bukan ditetapkan oleh hukum sejarah maupun takdir sebagai pre-conceived plan dari Tuhan. Berdasarkan asumsi manusia sebagai kehendak kreatif, Iqbal menolak bentuk determenisme dan kepasifan.
            Iqbal menolak panteisme yang menekankan kepasifan, penolakan ego sebagai keutamaan dan sebagai gantinya ia menekankan bahwa diri otentik adalah diri yang kuat, bersemangat, otonom, dimana hal-hal yang menguatkan kekuatan, semangat, dan otonomi itulah yang mempertinggi kualitas diri.[11] Manusia berbeda dengan binatang yang motivasi perilakunya semata-mata ditentuan oleh pemenuhan kebutuhan material, namun berbeda dengan manusia yang memiliki kehendak bebas yang menolak ditundukkan dalam suatu pola kausalitas. Dengan demikian Iqbal menolak bahwa perilaku manusia ditentukan oleh suatu tujuan yang bukan ditentukannya dirinya sendiri seperti takdir.
Ego bagi Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas. Ia mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan ego mutlak. Sementara itu aliran kausalitas dari alam mengalir ke dalam ego dan dari ego ke alam. Karena itu, ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Dalam keadaan inilah ego mutlak membiarkan munculnya ego relatif yang sanggup berprakarsa sendiri dan membatasi kebebasan ini atas kemauan bebasnya sendiri.[12]

PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran Muhammad Iqbal dalam makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Dalam pemahaman Iqbal, Hukum dalam Islam sebenarnya tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Islam pada hakekatnya mengajarkan dinamisme, demikian pendapat Iqbal. Al Quran senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Orang yang tidak perduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Kemajuan serta kemunduran dibuat tuhan silih berganti di antara bangsa-bangsa yang mendiami alam ini. Ini mengandung arti dinamisme. Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Dan prinsip yang dipakai dala soal gerak dan perubahan itu ialah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan dalam Islam. Faham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di india.
2.      Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya berupa aktivitas kehendak. Hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan dan bergerak menuju satu arah (Ego absolut). Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia berkehendak bebas dan berkreatif. Secara intuitif manusia menyadari bahwa kehendaknya memiliki tujuan karena bila tanpa tujuan maka kehendak menjadi sirna. Meskipun demikian Iqbal mengemukakan bahwa tujuan tersebut bukan ditetapkan oleh hukum sejarah maupun takdir sebagai pre-conceived plan dari Tuhan. Berdasarkan asumsi manusia sebagai kehendak kreatif, Iqbal menolak bentuk determenisme dan kepasifan.


DAFTAR PUSTAKA

Ø   Ali Mukti, Alam Pemikiran Islam Modern, (Bandung: Mizan 1993)
Ø   Gahral Adian Donny, Muhammad Iqbal (Jakarta: Penerbit Teraju 2003)
Ø   Hartawa Rumaidi, Humanisme Religius: Pengantar pada Filsafat Iqbal, (Yogyakarta 1999)
Ø   Hartono Andi, Perkembangan Modern Dalam Islam Di Indo-Pakistan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya 1997)
Ø   Iqbal Muhammad, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam (New Delhi: Kitab Bhavan 1986)
Ø   Nasution Harun, Pembaharuan Dalam Islam (jakarta: bulan bintang 1992)
Ø   Takwin Bagus, Filsafat Timur: Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, (Yogyakarta, Jalasutra, 2003)


[1] Mukti Ali, Alam Pemikiran Islam Modern, (Bandung: Mizan 1993), hlm 174
[2] Andi Hartono, Perkembangan Modern Dalam Islam Di Indo-Pakistan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya 1997) hlm. 171
[3] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1992) hlm. 192
[4] Ibid
[5] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal (Jakarta: Penerbit Teraju 2003), hlm 80
[6] Ibid
[7] Rumaidi Hartawa, Humanisme Religius: Pengantar pada Filsafat Iqbal, (Yogyakarta 1999) hlm. 26
[8] Bagus Takwin, Filsafat Timur: Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, (Yogyakarta, Jalasutra, 2003), hal. 148
[9] Mohammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam (New Delhi: Kitab Bhavan 1986), hlm 145
[10] Ibid
[11] Ibid, Muhammad Iqbal, hlm 85
[12] Ibid, hlm 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar