Selasa, 08 Maret 2011

KRITISISME IMMANUEL KANT


A. Profil Immanuel Kant
Immanuel Kant dilahirkan pada tahun 1724 di Koningsbergen, jerman. Setelah belajar filsafat, fisika dan ilmu pasti, kemudian ia menjadi guru besar dalam logika dan metafisika, juga di Koningsbergen. Hidupnya dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pada tahap pra-kritis dan tahap kritis, dengan kira-kira tahun 1770 sebagai garis perbatasannya, yaitu ketika ia menerima jabatan guru besar. Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepastian, sedang sebelumnya masih terdapat perubahan-perubahan dalam tulisannya. Semula Kant dipengaruhi rasionalisme Leibniz dan Wolff, kemudian dipengaruhi empirisnya Hume, sedang Rousseau juga menampakkan pengaruhnya. Menurut Kant sendiri Hume-lah yang menjadikan dia bangun dari tidurnya dalam dogmatismenya. Setidaknya demikian yang ia katakana, namun kebangkitan itu hanya sementara, dia tidak lama kemudian menemukan obat tidur yang memnungkinkan untuk tertidur lelap.
Filsafatnya, seperti yang akan kita bahas memungkinkan untuk lebih tertarik pada hati nurani ketimbang nalar teoritik yang kaku, yang mungkin, dengan agak dilebih-lebihkan, dianggap sebagai fersi pedantic dari pendeta Savoyard. Prinsipnya bahwa setiap orang mesti menganggap sebagai tujuan dalam dirinya sendiri merupakan bentuk doktrin tentang hak asasi manusia; dan kecintaannya akan kebebasan ditunjukkan dalam ucapannya bahwa “tidak ada yang lebih mengerikan disbanding jika tindakan seseorang harus tunduk kepada kehendak orang lain”.
B. Pemikiran Immanuel Kant
Buku terpenting Kant ialah The Critique of Pure Reason (edisi pertama, 1781; edisi kedua 1787). Tujuan dari karya ini adalah untuk membuktikan bahwa, kendati pengetahuan kita tak satupun yang mampu melampaui pengalaman, ia sebagai a priori (atau teoritik) dan tidak disimpulkan secara induktif dari pengalaman. Menurutnya, bagian pengetahuan kita yang a priori tidak hanya diliputi logika saja, namun juga banyak hal yang tidak bias dimasukkan ke dalam logika atau disimpulkan darinya. Dia memisahkan dua pembedaan yang dalam karya Leibniz, bercampur-aduk. Di satu sisi ada pembedaan antara proposisi “a priori” dan “empirik”. Ada yang mesti dijelaskan tentang masing-masing pembedaan ini.[1]
Proposisi “analitik” adalah yang predikatnya merupakan bagian dari subyek; misalnya : “pria yang tinggi adalah seorang pria”, atau “segitiga sama sisi adalah segitiga”. Proposisi semacam itu mengikuti hukum kontradiksi; pendapat bahwa pria yang bukan seorang pria dengan sendirinya merupakan pendapat kontradiktif. Proposisi “sintetik” adalah yang tidak analitik. Semua proposisi yang hanya kita ketahui melalui dari pengalaman adalah sintetik. Dengan hanya menganalisa konsep kita tidak dapat menemukan kebenaran semisal “Hari selasa adalah hari yang basah” atau “Napoleon adalah panglima besar”. Namun Kant berbeda dengan Leibniz dan semua filsuf terdahulunya, tidak akan mengakui yang sebaliknya, bahwa semua proposisi sintetik hanya diketahui melalui pengalaman. Ini membawa kita kepada pembedaan yang kedua.[2]
Proposisi “empiric” adalah yang tidak dapat kita ketahui kecuali dengan bantuan indera-persepsi, baik milik kita sendiri maupun milik orang lain yang kesaksiannya dapat kita terima. Fakta-fakta sejarah dan geografi termasuk dalam jenis ini; demikian pula dengan hukum ilmu pengetahuan, bila pengetahuan kita tentang kebenarannya bergantung pada data observasi. Di sisi lain sebuah proposisi ”a priori” kendati dapat diperoleh dengan pengalaman_adalah yang dipandang nmanakala kita mengetahuinya, memiliki basis selain dari pengalaman.
1. Kritiknya Kant pada Rasionalis dan Empiris
Filsafat Kant disebut kritisisme. Itulah sebabnya tiga karyanya yang besar disebut “Kritik”, yaitu : Kritik Der Reinen Vernunft, atau “kritik atau rasio murni” (1781), kritik der praktischen Vernunft, atau “Kritik atau rasio murni” (17880 atau Kritik der Urteilskraft, atau “kritik atas daya pertimbangan”.  Secara harfiah kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud memisahkan dan membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastian. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya bermaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.[3]
Dalam filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat obyektifitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar supaya maksud itu terlaksana orang harus menghindari diri dari sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subyeknya, lepas dari segala pengalaman, sedang empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subyektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni.
Empirisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang sintetis, jadi tidak mungkin empirisme memberi pengetahuan yang bersifat umum dan perlu mutlak. Sebaliknya rasionalisme memberikan kepada kita putusan-putusan yang analitis, jadi tidak mungkin memberikan pengetahuan yang baru. Demikianlah baik empirisme maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut ilmu pengetahuan.[4] Menurut Kant, perlu diselidiki bagaimana mungkin ada putusan-putusan yang “sintesis a priori”, yaitu putusan-putusan yang sekalipun sintesis, namun tidak tergantung dari pengalaman. Apakah yang menjadi rantai penghubungannya? Filsafat yang menangani persoalan ini oleh Kant disebut filsafat transcendental, yaitu filsafat yang meneliti cara orang mengenal segala sesuatu.
Segala pengalaman terjadi karena penggabungan antara dua factor, yaitu pengamatan inderawi dan pengamatan akali. Dalam kesadaran sehari-hari kedua factor ini tercampur, tidak dipisah-pisahkan. Akan tetapi dalam penyadaran secara teoritis keduanya harus dipisahkan, dengan maksud supaya masing-masing dapat diselidiki kemungkinan-kemungkinannya dan keadaannya yang secara logis transcendental, artinya; bukan hanya ditentukan bagaimana bentuk pengertian-pengertian dan putusan-putusan itu mungkin dan syarat-syarat (a priori) mana yang dipenuhi.
Menurut Kant, penginderaan kita bersifat reseptif atau menerima apa yang disajikan oleh sabjek yang tampak, dalam arti ini, bahwa segi konstruktif pengamatan itu dianggap sebagai berasal dari akal. Sebuah meja yang diamati menggerakkan indera kita. penglihatan kita menerima perangsang-perangsang dari bentuk dan warna meja itu, peraba kita menerima perangsang-perangsang dari kasar dan halusnya, pendengaran kita menerima perangsang-perangsang dari suara yang disebabkan oleh meja itu dan lain sebagainya. Dari kesan-kesan yang langsung itu kita mendapatkan pengenalan atau pengetahuan. Hubungan langsung antara pengenalan kita dengan sasaran yang diamati itu oleh Kant disebut pengamatan. Adapun yang amati bukan bendanya sendiri, bukan benda “dalam dirinya sendiri”, melainkan salinan dan pembentukan benda itu dalam daya-daya inderawi lahiriah dan batiniah, yang disebut penampakan atau gejala-gejala (fenomena). [5]
2. Teori Kant tentang ruang dan Waktu
Bagian yang terpenting dari The Critique of Pure Reason adalah doktrin tentang ruang dan waktu. Dibagian ini saya akan membuat kajian yang agak panjang lebar tentang doktrin ini. Menjelaskan teori Kant tentang ruang dan waktu tentu tidak sangat mudah, karena teori ini tidak terlalu jelas. Teori ini disajikan dalam The Critique of Pure Reason dan dalam Prolegomena; penjelasan dalam karya kedua lebih mudah dipahami, namun kurang menyeluruh disbanding dalam Critique. Saya akan lebih mencoba menguraikan teorinya dan menjadikannya semasuk akal mungkin.
Pengertian ruang atau keluasan ini berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Newton. Bagi Newton ruang ada diluar kita, tempat benda-benda ditempatkan. Bagi Kant ruang atau keluasan adalah sebuah “bentuk formal” penginderaan. Di dalam penangkapan inderawi kita mengatur kesan-kesan atau cerapan-cerapan pengamatan kita dalam dua dimensi atau tiga dimensi dalam ruang. Bentuk pengamatan di dalam yang disebut ruang atau keluasan itulah yang memungkinkan adanya penginderaan sesuatu.[6] Demikian juga dengan halnya waktu, yang adalah juga “bentuk formal” penginderaan. Bentuk ruang mengatur atau membentuk kesan-kesan atau cerapan-cerapan inderawi yang lahiriyah, sedangkan bentuk waktu mengatur atau membentuk kesan-kesan atau cerapan-cerapan inderawi yang batiniah. Kedua bentuk kesan ini pada akhirnya disintesakan oleh bentuk a priori waktu. Kedua pengertian ruang dan waktu ini mendahului penginderaan yang bersifat a posteriori, dan mewujudkan bentuk penginderaan a priori. Dilihat dari segi ini yang termasuk keadaan batiniah kita adalah segala sasaran pengamatan. Benda-bendanya sendiri tidak berada dalam ruang dan waktu, tetapi pengamatan kita menangkapnya seolah-olah berada dalam ruang dan waktu. Isi pengetahuan kita memang berasal dari benda-bendanya sendiri, akan tetapi bentuk pengetahuan itu sendiri diberikan oleh pengenalan kita. jadi yang kita kenal bukan bendanya sendiri melainkan penampakannya.
Kant berpendapat bahwa objek persepsi langsung sebagian disebabkan karena benda eksternal dan sebagian karena apparatus persepsi kita sendiri. Kant halnya seperti Berkeley dan Hume, meski tidak dengan cara yang serupa, melangkah lebih jauh dan membuat kualitas-kualitas primer juga menjadi subyektif. Kant acapkali tidak mempertanyakan bahwa sensasi kita memiliki sebab, yang dia sebut “suatu-dalam-dirinya-sendiri” atau “nomena”. Apa yang mengemuka dalam persepsi kita, yang disebut “fenomena”, terdiri dari dua bagian: yang diakibatkan oleh objeknya yang dia sebut “sensasi”, dan yang diakibatkan oleh apparatus subyektif kita, yang katanya menyebabkan beraneka macamh hal yang terjadi tertata dalam hubungan tertentu. Bagian yang kedua ini dia sebut dengan bentuk fenomena. Bagian ini dengan sendirinya bukanlah sensasi dank arena itu tidak bergantung pada kejadian sekitar; ia selalu sama, karena kita membawanya kemana-mana, dan ia bersifat a priori dalam arti tidak bergantung pada pengalaman. Bentuk murni dari sensabilitas disebut “intuisi murni”; ada sua bentuk, yakni ruang dan waktu, yang satu untuk indera luar dan yang satu lagi untuk dalam.[7]
Untuk membuktikan bahwa ruang dan waktu merupakan bentuk a priori, Kant memiliki dua kelompok argument; yang pertama metafisis dan yang kedua epistemologis, atau sebagaimana ia sebutkan transcendental. Kelompok yang pertama diambil langsung dari sifat ruang dan waktu, kellompok kedua diambil dari posibilitas matematika murni. Argument-argumen tentang ruang diberikan secara lebih penuh ketimbang tentang waktu, karena diyakini bahwa yang kedua pada dasarnya sama dengan yang pertama.
Ada empat argument metafisis mengenai ruang :
a)      Ruang bukanlah konsep empiric, yang diabstaraksikan dari pengalaman luar, karena ruang dimisalkan keberadaannya dengan merujuk pada sesuatu yang eksternal, dan pengalaman eksternal hanya dimungkinkan melalui kehadiran ruang.
b)      Ruang merupakan kehadiran a priori mutlak, yang mendasari semua persepsi eksternal; karena kita tidak dapat membayangkan tentang ketiadaan ruang, kendati kita dapat membayangkan bahwa dalam ruang itu tidak ada apapun.
c)      Ruang tidaklah diskursif dan bukan konsep umum mengenai hubungan benda secara umum, karena yang ada hanyalah satu ruang, sedangkan yang kita sebut “ruangan” hanyalah bagian-gagiannya, bukan keutuhannya.
d)     Ruang tersaji sebagai ukuran besar yang tak terhingga, yang melingkupi seluruh bagian ruang; hubungan ini berbeda dengan hubungan antara konsep dengan contohnya, dank arena itu ruang bukanlah konsep, melalui intuisi.[8]
3.  Ajaran Kant tentang etika
            Didalam kritik atas rasio praktis dibicarakan hal syarat-syarat umum dan yang perlu mutlak bagi perbuatan kesusilaan. Oleh karena itu yang diteliti disini ialah apa yang berlaku bagi manusia yang berbuat. Yang dijadikan pegangan ialah gagasan, bahwa ada suatu intuisi pada manusia yang mengatakan bahwa tiada sesuatu yang lebih tinggi daripada suatu perbuatan yang dilakukan karena “kehendak baik”, lepas dari buah-buahnya.[9] Dari manakah asal intuisi itu?
            Kelihatannya naluri manusialah yang lebih menentukan “kehendak baik” kita. akan tetapi sebenarnya naluri senantiasa memperhitungkan factor-faktor pengalaman. Oleh karena itu harus disimpulkan bahwa naluri tergantung kepada hal yang lain, terikat pada syarat-syarat material. Padahal yang kita perlukan ialah suatu factor yamg semata-mata baik dalam dirinya sendiri, yang tidak tergantung kepada buah-buahnya untuk disebut baik. Factor yang dapat memberi pimpinan, yang dapat menjadi patokan yang praktis demikian itu hanyalah rasio. Factor yang menentukan bagi kehendak baik ialah gagasan tentang adanya tertib dalam dirinya sendiri, seperti yang secara khusus terdapat pada rasio.[10]
              Kant membedakan antara legalitas dan moralitas. Yang dimaksud dengan legalitas ialah struktur perbuatan, dimana kehendak mengawasi hidup nafsu yang tak sadar, yang diawasi dari sudut tertentu, yaitu dari sudut suatu peraturan yang bersifat sementara (insidental), yang dipertimbangkan benar-benar, serta dipilih berdasarkan “kebebasan kehendak” disini pengetahuan atau pengertian memang memberi bimbingan kepada penentuan kehendak.[11] Secara mutlak kehendak itu hanya bebas dibidang moralitas mutlak, hal ini disebabkan karena di dalam moralitas pengertian yang menyebabkan orang bertindak bukan diarahkan kepada keadaan yang terbatas, melainkan kepada hal yang tidak terbatas, kepada hal yang tidak bersyarat. Demikianlah moralitas memiliki asas yang formal yang bersifat transcendental, yang pasti harus diandaikan sebagai syarat a priori yang memungkinkan moralitas, yang adalah bentuk yang perlu mutlak dari moralitas. Jadi di dalam moralitas bentuk dan isi adalah identik. Hanya saja, hal yang tidak bersyarat yang menjadi isi asas formal yang transcendental tadi setiap saat merealisasikan diri di dalam empiri atau pengalaman sehingga asas formal tadi dapat memiliki isi yang konkrit.
            Demikianlah moralitas adalah segala perbuatan yang sesuai dengan kewajiban ditambah dengan rasa hormat terhadap hukum kesusilaan, sedang legalitas adalah segala perbuatan yang sesuai dengan kewajiban tanpa rasa hormat terhadap hukum kesusilaan tadi. Pengertian “hormat” ini mewujudkan perpindahan dari etika yang formal kepada etika yang material. Selanjutnya Kant menunjukkan kepada pengandaian umum yang tersirat dalam kesadaran kesusilaan, yang disebut postulat, yaitu dalil teoritis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoritis yang oleh karenanya dapat disebut dalil kepercayaan. Kesadaran kesusilaan hanya dapat masuk akal, jikalau orang mau menerima adanya postulat-postulat itu. Menurut Kant ada 3 postulat yang tersirat di dalam kesadaran, yang oleh karenanya harus diterima sebagai kebenaran-kebenaran kesusilaan, yaitu : kebebasan kehendak, immoralitas jiwa dan Allah.[12]

PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat kant adalah jembatan antara zaman pencerahan, dengan keyakinannya terhadap ilmu sebagai sesuatu yang mengetahui segalanya dan menangani segalanya bagi semua kebingungan manusia. Filsafat Kant disebut kritisisme. Secara harfiah kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud memisahkan dan membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastian. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya bermaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan
Kant bermaksud memugar sifat obyektifitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar supaya maksud itu terlaksana orang harus menghindari diri dari sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subyeknya, lepas dari segala pengalaman, sedang empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subyektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni.



DAFTAR PUSTAKA

Ø  Russell Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, pent Sigit Jatmiko dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002)
Ø  T.Z. Lavine, Petualangan Filsafat; dari Socrates ke Sarte, pent Andi Iswanto (Yogyakarta: Jendela 2002)
Ø  Hadiwijoyo Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, cet ke 22 (Yogyakarta: Kanisius 2009 )
Ø  Aiken D. Henry, Abad Ideologi, Penj Sigit Djatmiko (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya 2002)


[1] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, pent Sigit Jatmiko dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002), hlm 922
[2] ibid
[3] Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, cet ke 22 (Yogyakarta: Kanisius 2009 ), hlm 64
[4] Ibid, hlm 66
[5] Ibid
[6] T.Z. Lavine, Dari Socrates Ke Sartre, Pent Andi Iswanto (Yogyakarta: Penerbit Jendela 2002) hlm 188
[7] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, pent, Sigit Djatmiko dkk (Yogyakarta: Pustaka pelajar 2002), hlm 930
[8] Ibid, hlm 931
[9] Henry D. Aiken, Abad Ideologi, pert Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 2002) hlm 35
[10] Ibid, hlm 36
[11] Ibid, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm 75
[12] Ibid, Sari Sejarah Filsafat Barat 2...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar