PENDAHULUAN
Semua Muslim percaya bahwa ajaran Islam adalah suatu norma ideal yang dapat diadaptasi oleh bangsa apa saja dan kapan saja. Ajaran Islam bersifat universal dan tidak bertentangan dengan rasio. Semua kaum Muslim harus selalu membangun peradaban yang bertumpu pada pesan-pesan abadi itu. Persoalannya, bagaimana semestinya mendekati dan mengkaji aspek-aspek peradaban, kesejarahan, politik, ekonomi dan sosial Islam yang dibangun atas universalitas itu?
Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam.
Hasan Hanafi bukanlah nama yang asing di telinga akademis masyarakat Indonesia, terutama yang genar membaca karya tentang kebangkitan Islam. Dalam pemikirannya ia dapat disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti Fazlur Rahaman, Mohammad Arkoun, Ali Syariati, M. Sahrur, Ismail Raji Al Faruqi, Sayyed Hossein Nasr, Salman Rushdie, Ali Asghar E. dan lain-lain. Hasan Hanafi merupakan tokoh yang berbeda dengan pemikiran Islam yang lain pemikirannya lebih mengedepankan al turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan). Hasan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan “Kiri Islam”.
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama.[1] Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.[2]
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.[3]
Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi. Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.[4]
Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah is peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menangggapi masalah-masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.
B. Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karyanya
Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya-karya Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Periode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an. Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,[5] dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal theory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.[6]
Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation).[7] Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.[8] Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada.
C. POKOK-POKOK PEMIKIRAN HASAN HANAFI
Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: 1) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian.[9] Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.
a. Kritik Terhadap Teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan dialektika konsep-konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah.[10]
Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.[11]
Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang memanfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya merupakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni. Dalam konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti-arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk setiap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah itu.
Hanafi ingin meletakan teologi tradisional Islam pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja. Namun teologi adalah ilmu kemanusiyaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi baik secara historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam. Pemikiran ini juga tidak jauh berbeda dengan teolgi pembebasan yang terjadi di Kristen.
Secara praksis, teologi tradisional menurut hasan Hanafi gagal menjadi idiologi yang fugsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim dikarenakan oleh para sikap teolog yang tidak mengaitkan teologi dengan kesadaan murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.
Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.26
Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebebasan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa.27 Teologi baru itu harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakapan. Karena itu pula harus tersusun secara kemanusiaan.28
Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi.29 Baginya, Islam memiliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.30
Melihat kegagalan teologi tradisional, Hanafi mewacanakan rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islama benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi , serta membangun kembali epistimologi lama menju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuagan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktua sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilator belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut:
1. Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah idiologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Idiologi.
2. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis idiologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim.
3. Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Menurut hasan Hanafi, Rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensia, kognitif, naupun kesejahteraan. Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu analisa bahasa dan analisa realitas.
b. Oksidentalisme
Sebelum melangkah pada oksidentlaisme, kita perlu bahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan Hanafi mengenai tradisi (turats). Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah barang hidup yang selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.[12]
Tradisi ternyata telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi kekuatan kekuasaan yang berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi menjadi kekuatan yang membebaskan. Titik tolak Hassan Hanafi adalah realitas Arab saat ini, dan menurutnya adalah keharusan pemecahannya untuk mengakhiri semua hal yang menghambat perkembangan dalam dunia Islam dan Arab. Tradisi, pada dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia dapat menjadi sarana yang dapat memberikan teori aksi negara Arab dalam merekonstruksi manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Oksidentalisme merupakan antitesis Orientalisme. Para oksidentalis mengkritik orientalisme sekaligus mengkaji ulang Barat. Ibarat permainan bola, Oksidentalisme melakukan serangan balik terhadap Orientalisme. Para penyerang dari kubu Oksidentalis antara lain Edward Said, Anouar Abdel-Malek dan Hassan Hanafi. Hassan Hanafi terang-terangan menyebut kritikannya terhadap Orientalisme sebagai Oksidentalisme. Profesor filsafat Universitas Kairo ini pula yang membeda dengan menghadirkan Oksidentalisme bercorak filosofis.
Dengan Oksidentalisme, Hassan Hanafi berupaya membalik kedudukan Orientalisme bahkan Barat. “Dalam ‘Oksidentalisme’ neraca-neraca berbalik, peran-peran pun bergantian, ego Eropa yang dulu pengkaji hari ini menjadi objek kajian sebagaimana liyan non-Eropa yang kemarin dikaji kini menjadi subjek pengkaji.” Pembalikan kedudukan itu ditujukan untuk menghilangkan kesombongan Eropa dan kerendahdirian non-Eropa.[13]
Namun Hanafi mengantisipasi masuknya unsur-unsur Orientalisme ke dalam Oksidentalisme dalam pembalikan itu. Ia menetapkan garis-garis pembeda antara keduanya antara lain: Pertama, Oksidentalisme muncul pasca gerakan kemerdekaan nasional sehingga bernuansa pembelaan atas kemerdekaan, yang tentu saja berbeda dengan Orientalisme yang muncul bersama Kolonialisme yang merenggut kemerdekaan. Kedua, Orientalisme menggunakan metode-metode abad ke-19 bercorak positivistik, historistik, dan rasialis, sementara Oksidentalisme memanfaatkan metode-metode kontemporer yang mengkritik metode-metode tersebut di atas, seperti metode linguistik, metode fenomenologi dan metode pembebasan nasional. Ketiga, Oksidentalisme tak berkehendak untuk kuasa kecuali kehendak untuk merdeka sehingga lebih netral ketimbang Orientalisme yang berselingkuh dengan Kolonialisme.[14]
Seperti dijelaskan Hassan Hanafi, Oksdentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakab al-naqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (murakab al-‘uzma) pada pihak the other. Oreintalisme lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur.
Hal demikian dibalikkan dengan Oksidentalisme, yang tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hanya saja Oksidentalsime kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi, ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego Orientalisme.[15]
KESIMPULAN
Hasan Hanafi adalah pembaharu dalam pemikiran Islam, pokok pikiranya terletak pada bagaimana Islam dapat teraktualisasikan dalam konteks dan kehidupan yang nyata terutama dapat mentranformasikan umat islam dari keterbelakangan kearah kemajuan. Oleh kerena itu hasan Hanafi melakukan kritik terhadap teologi Islam tradisional yang di nilai olehnya telah gagal dalam sisi toritis dan praktis.
Dari sisi teoritis, teologis islam tradisional gagal dalam mendapatkan pembuktian ilmiah dan filososis. Sedangkan dari sisi praksisnya gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativism terhadap perkembangan dan kemajuan zaman sehigga menjadikan umat islam tertinggal jauh. Oleh karena itu hasan Hanafi menawarkan rekonstruksi teologi islam agar islam menjadi agama yang tranformatif dan memiliki manfaat praksis bagi peradaban manusia.
Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilatar belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut:
1. Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah idiologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Idiologi.
2. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis idiologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim.
3. Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan. Seperti dijelaskan Hassan Hanafi, Oksdentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakab al-naqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (murakab al-‘uzma) pada pihak the other.
[1] Khudori Saleh, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 157
[2] Abdillah Hasan, Tokoh-Tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara Surabaya, 2004), hlm. 317
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Lihat lebih lanjut, Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya” dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terjemah: M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, (Jogjakarta: LkiS, 2007), hlm. xi.
[6] Ibid, hlm. xi
[7] Ibid, hlm. xiii
[8] Lihat Abdurrahman Wahid, Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), hlm, xi.
[9] Issa J. Boullatta, Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan, terjemah: Saiful Mujani, dalam Islamika, Edisi, I, Juni-Sept, 1993, hlm. 21
[11] Ibid
[12] Ahmad Ridwan Hasan, Pemikiran Hassan Hanafi; studi historis kritis gagasan reaktualisasi tradisi keilmuan. (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1997), hlm. 37
[13] Hasan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadiana, 1996), hlm. 8
[14] John L Esposito dan John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer terj. Sugeng Haryanto dkk, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 93
[15] Ibid, hlm. 94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar